KOMIK DAN BRANDING : DIFERENSIASI
Sebagian besar orang mungkin menganggap bahwa komik adalah sebuah karya seni yang dapat digolongkan dalam seni rupa dwi matra, atau lebih spesifiknya seni menggambar. Tapi saya tidak terlalu setuju dengan anggapan seperti itu. Di negeri ini kedudukan komik masih belum jelas. Dia bukanlah makhluk yang dapat digolongkan ke dalam seni rupa, bukan juga makhluk yang bisa digolongkan ke dalam seni sastra. Tapi bukan itu yang mendasari ketidak setujuan saya akan anggapan bahwa komik bukanlah bagian dari seni rupa. Komik adalah media alternatif yang lahir dari gabungan seni rupa dan sastra.
Sebagai sebuah karya (artwork), boleh saja komik dikategorikan ke dalam sebuah karya seni, tapi seni di dalam dunia industri. Kenapa saya bilang begitu? Sebab komik adalah “sebuah karya yang diproduksi dan dapat diduplikasi , baik dalam skala besar ataupun kecil, untuk dinikmati oleh banyak orang.” Karena sifatnya yang diproduksi secara massal, maka komik termasuk ke dalam komoditas industri, layaknya film dan musik.
Bicara soal industri berarti bicara soal pemasaran, yang mau tak mau juga bicara soal brand. Sebuah brand yang sukses di pasaran memiliki positioning dan diferensiasi yang membuatnya bisa bersaing dengan brand-brand lainnya. Pada tulisan kali ini saya akan ngomongin kaitan antara komik dengan diferensiasi.
Bagaimana sebuah brand yang memiliki diferensiasi kuat dapat bertahan? Contoh kecil. Ada sebuah warung indomi, sebut saja warung A yang menjual indomi sama seperti warung indomi-warung indomi lainnya, dengan sajian standar berupa indomi plus sawi, telur dan bawang goreng. Tidak ada bedanya antara indomi di warung A dengan indomi di warung lain yang sejenis. Kemudian di sebelahnya berdiri sebuah warung indomi juga, sebut saja warung B yang sama-sama menjual indomi, dengan sedikit sentuhan berebeda. Selain memakai telur, indomi di warung B juga menghadirkan variasi lain dalam menunya. Ada indomi telur kornet, indome telur ayam, indomi telur daging, dan indomi-indomi lainnya dengan variasi sajian yang beragam. Dapat dipastika orang-orang akan lebih memilih untuk makan di warung indomi B ketimbang makan di warung indomi A, sebab warung indomi B punya diferensiasi produk, yaitu menu mi-nya bermacam-macam. Bila dibandingkan dengan warung A, sebenarnya mereka sama-sama menjual indomi plus telur. Tapi warung indomi B menambahkan sedikit “perbedaan” pada produknya sehingga orang-orang lebih memilih untuk makan di warung indomi B.
Itu contoh kecil diferensiasi (produk) pada rumah makan. Lalu bagaimana diferensiasi pada komik. Secara kasar mata, diferensiasi pada komik terlihat pada gaya visualnya. Misalnya, gaya visual antara komik Si Buta Dari Gua Hantu, Mandala, ataupun Panji Tengkorak memiliki ciri khas tersendiri meskipun sama-sama mengusung genre silat. Atau kalau mau lihat gaya visual dari komik-komik strip di surat kabar bisa dilihat dari Ali Oncom, Lotif, ataupun Sukribo. Mereka bertiga sama-sama mengusung cerita humor, namun memiliki gaya gambar yang berbeda. Mereka, sebagai tokoh komik, memilki diferensiasinya masing-masing yang membuatnya berebda dari karakter yang lain sehingga mudah dikenali dan diidentifikaskan. Nah, kemudahan mengidentifikasian sebuah karya komik inilah yang pada akhirnya membuat sebuah karya lebih mudah diingat, karena berbeda.
Diferensiasi dalam komik sangat penting, terutama bagi kita komikus Indonesia yang boleh dibilang kehilangan gaya sejak komik-komik impor menginvasi dengan sadidnya. . Akibatnya komikus-komikus jaman sekarang punya tantangan sekaligus peluang yang sangat besar dalam mencari diferensiasinya. Saya sebut tantangan sebab kita tidak punya acuan lagi dalam gaya gambar karena komik Indonesia sempat terlelap selama lebih dari satu dekade, dan menyebabkan terputusnya mata rantai “ciri khas” gaya gambar komik Indonesia, sehingga serbuan komik-komik impor yang masuk dengan mudahnya menginvasi benak para calon komikus muda dan sekaligus menjadi panutan komikus-komikus pada saat itu hingga sekarang (termasuk saya, tapi nggak lama, kok). Disebut juga sebagai peluang, karena saat ini memang tidak da ciri khas untuk komik Indonesia dalam gaya visual. Jadi kita bisa dengan bebas mengeksplorasi gaya yang kita suka dan gaya yang “gue banget”.
Harus kita akui, membuat diferensiasi bukanlah hal mudah, tapi bisa dimulai secara bertahap. Baik diferensiasi secara gaya gambar (visual) ataupun diferensiasi dalam gaya bertutur (story telling). Kalau dalam visual kita (komikus Indonesia) tidak punya acuan gaya yang dapat membedakannya dengan komik-komik luar, kita dapat memanfaatkan diferensiasi dari segi cerita. Bisa dengan cerita yang (masih) mengandung unsur kelokalan, misalnya. Seperti cerita yang berakar dari sejarah, dongeng, keragaman, budaya, bahkan dari lingkungan sekitar yang “ng-Endonesia banget”, yang saya yakin tidak banyak negara yang memiliki kesamaan lingkungan dengan Indonesia.
Melalui proses dan latihan terus-menerus, diferensiasi, yang pada akhirnya menajdi “ciri khas” dari masing-masing komikus dapat ditemukan. Caranya dengan menggali banyak hal, baik ide, gaya gambar, maupun gaya bercerita. Orisinalitas memang tidak ada yang 100%, tapi setidaknya kita dapat mengkombinasikan berbagai gaya yang sangat mencerminkan siapa kita dan berbeda dari yang lainnya. Jangan pernah bosan mengeksplorasi berbagai macam gaya gambar, dan jangan terpaku dengan satu gaya gambar saja, karena dengan rajin-rajin bereksplorasi kita akan menemukan karakter kita sendiri.
Tak ada salahnya memang, mempelajari satu gaya yang mainstream dan jadi kesukaan setiap orang. Tapi menciptakan gaya sendiri mendatangkan kepuasan tersendiri. Menciptakan gaya gambar sendiri akan memperkuat identitas kita sebagai komikus. Seperti saya sebut tadi, memang tidak ada orisinalitas yang 100%, dan tidak ada juga karakter yang benar-benar orisinal. Tapi kita bisa mengkombiansikan beberapa gaya gambar yang ada atau memodifikasinya untuk dijadikan karakter gambar pilihan kita. Misalnya saja pencampuran gaya goresan manga yang lembut, arsiran keras khas komik suprhero Amerika, yang dikombinasikan dengan gaya kartun komik-komik eropa. Bebas saja, karena tidak ada batasan-batasan dalam berkreasi.
Namun bukan perkara mudah menciptakan diferensiasi. Jangankan menjadi berbeda, mencoba untuk sama dengan orang lain saja sudah sulit. Menjadi “beda” ataupun menjadi “sama” sama-sama punya tantangan. Terserah kita mau pilih yang mana. Lelah berusaha untuk menyamakan diri dengan orang lain, atau lelah berusaha untuk menjadi berbeda. Kita sendiri yang menilai karena kita sendiri yang merasakan. Boleh saja orang-orang mentertawakan Anda karena Anda berebeda, tapi Anda bisa mentertawakan balik mereka karena mereka sama. Be Different!
Salam Komik
Amet I.M.
Sebagai sebuah karya (artwork), boleh saja komik dikategorikan ke dalam sebuah karya seni, tapi seni di dalam dunia industri. Kenapa saya bilang begitu? Sebab komik adalah “sebuah karya yang diproduksi dan dapat diduplikasi , baik dalam skala besar ataupun kecil, untuk dinikmati oleh banyak orang.” Karena sifatnya yang diproduksi secara massal, maka komik termasuk ke dalam komoditas industri, layaknya film dan musik.
Bicara soal industri berarti bicara soal pemasaran, yang mau tak mau juga bicara soal brand. Sebuah brand yang sukses di pasaran memiliki positioning dan diferensiasi yang membuatnya bisa bersaing dengan brand-brand lainnya. Pada tulisan kali ini saya akan ngomongin kaitan antara komik dengan diferensiasi.
Bagaimana sebuah brand yang memiliki diferensiasi kuat dapat bertahan? Contoh kecil. Ada sebuah warung indomi, sebut saja warung A yang menjual indomi sama seperti warung indomi-warung indomi lainnya, dengan sajian standar berupa indomi plus sawi, telur dan bawang goreng. Tidak ada bedanya antara indomi di warung A dengan indomi di warung lain yang sejenis. Kemudian di sebelahnya berdiri sebuah warung indomi juga, sebut saja warung B yang sama-sama menjual indomi, dengan sedikit sentuhan berebeda. Selain memakai telur, indomi di warung B juga menghadirkan variasi lain dalam menunya. Ada indomi telur kornet, indome telur ayam, indomi telur daging, dan indomi-indomi lainnya dengan variasi sajian yang beragam. Dapat dipastika orang-orang akan lebih memilih untuk makan di warung indomi B ketimbang makan di warung indomi A, sebab warung indomi B punya diferensiasi produk, yaitu menu mi-nya bermacam-macam. Bila dibandingkan dengan warung A, sebenarnya mereka sama-sama menjual indomi plus telur. Tapi warung indomi B menambahkan sedikit “perbedaan” pada produknya sehingga orang-orang lebih memilih untuk makan di warung indomi B.
Itu contoh kecil diferensiasi (produk) pada rumah makan. Lalu bagaimana diferensiasi pada komik. Secara kasar mata, diferensiasi pada komik terlihat pada gaya visualnya. Misalnya, gaya visual antara komik Si Buta Dari Gua Hantu, Mandala, ataupun Panji Tengkorak memiliki ciri khas tersendiri meskipun sama-sama mengusung genre silat. Atau kalau mau lihat gaya visual dari komik-komik strip di surat kabar bisa dilihat dari Ali Oncom, Lotif, ataupun Sukribo. Mereka bertiga sama-sama mengusung cerita humor, namun memiliki gaya gambar yang berbeda. Mereka, sebagai tokoh komik, memilki diferensiasinya masing-masing yang membuatnya berebda dari karakter yang lain sehingga mudah dikenali dan diidentifikaskan. Nah, kemudahan mengidentifikasian sebuah karya komik inilah yang pada akhirnya membuat sebuah karya lebih mudah diingat, karena berbeda.
Diferensiasi dalam komik sangat penting, terutama bagi kita komikus Indonesia yang boleh dibilang kehilangan gaya sejak komik-komik impor menginvasi dengan sadidnya. . Akibatnya komikus-komikus jaman sekarang punya tantangan sekaligus peluang yang sangat besar dalam mencari diferensiasinya. Saya sebut tantangan sebab kita tidak punya acuan lagi dalam gaya gambar karena komik Indonesia sempat terlelap selama lebih dari satu dekade, dan menyebabkan terputusnya mata rantai “ciri khas” gaya gambar komik Indonesia, sehingga serbuan komik-komik impor yang masuk dengan mudahnya menginvasi benak para calon komikus muda dan sekaligus menjadi panutan komikus-komikus pada saat itu hingga sekarang (termasuk saya, tapi nggak lama, kok). Disebut juga sebagai peluang, karena saat ini memang tidak da ciri khas untuk komik Indonesia dalam gaya visual. Jadi kita bisa dengan bebas mengeksplorasi gaya yang kita suka dan gaya yang “gue banget”.
Harus kita akui, membuat diferensiasi bukanlah hal mudah, tapi bisa dimulai secara bertahap. Baik diferensiasi secara gaya gambar (visual) ataupun diferensiasi dalam gaya bertutur (story telling). Kalau dalam visual kita (komikus Indonesia) tidak punya acuan gaya yang dapat membedakannya dengan komik-komik luar, kita dapat memanfaatkan diferensiasi dari segi cerita. Bisa dengan cerita yang (masih) mengandung unsur kelokalan, misalnya. Seperti cerita yang berakar dari sejarah, dongeng, keragaman, budaya, bahkan dari lingkungan sekitar yang “ng-Endonesia banget”, yang saya yakin tidak banyak negara yang memiliki kesamaan lingkungan dengan Indonesia.
Melalui proses dan latihan terus-menerus, diferensiasi, yang pada akhirnya menajdi “ciri khas” dari masing-masing komikus dapat ditemukan. Caranya dengan menggali banyak hal, baik ide, gaya gambar, maupun gaya bercerita. Orisinalitas memang tidak ada yang 100%, tapi setidaknya kita dapat mengkombinasikan berbagai gaya yang sangat mencerminkan siapa kita dan berbeda dari yang lainnya. Jangan pernah bosan mengeksplorasi berbagai macam gaya gambar, dan jangan terpaku dengan satu gaya gambar saja, karena dengan rajin-rajin bereksplorasi kita akan menemukan karakter kita sendiri.
Tak ada salahnya memang, mempelajari satu gaya yang mainstream dan jadi kesukaan setiap orang. Tapi menciptakan gaya sendiri mendatangkan kepuasan tersendiri. Menciptakan gaya gambar sendiri akan memperkuat identitas kita sebagai komikus. Seperti saya sebut tadi, memang tidak ada orisinalitas yang 100%, dan tidak ada juga karakter yang benar-benar orisinal. Tapi kita bisa mengkombiansikan beberapa gaya gambar yang ada atau memodifikasinya untuk dijadikan karakter gambar pilihan kita. Misalnya saja pencampuran gaya goresan manga yang lembut, arsiran keras khas komik suprhero Amerika, yang dikombinasikan dengan gaya kartun komik-komik eropa. Bebas saja, karena tidak ada batasan-batasan dalam berkreasi.
Namun bukan perkara mudah menciptakan diferensiasi. Jangankan menjadi berbeda, mencoba untuk sama dengan orang lain saja sudah sulit. Menjadi “beda” ataupun menjadi “sama” sama-sama punya tantangan. Terserah kita mau pilih yang mana. Lelah berusaha untuk menyamakan diri dengan orang lain, atau lelah berusaha untuk menjadi berbeda. Kita sendiri yang menilai karena kita sendiri yang merasakan. Boleh saja orang-orang mentertawakan Anda karena Anda berebeda, tapi Anda bisa mentertawakan balik mereka karena mereka sama. Be Different!
Salam Komik
Amet I.M.
Komentar
Posting Komentar