Pertemuan Gagal dan Rekonstruksi Sosial



Lampu yang tergantung di persimpangan Jati Padang masih menyala merah. Sebagian sepeda motor dari arah Ragunan ke arah Pasar Minggu sudah merangsek hingga ke tengah-tengah jalur Tranjakarta ;sebagian mencuri jatah pejalan kaki untuk menyeberang. Perampas-perampas egois, sudah siap mati mereka!
Ponsel di saku kiri depan celanaku bergtear, buru-buru kutengok selagi si warna hijau belum muncul:
 Kabari ya kalo udah deket. Gw baru nyampe
     Setelah itu buru-buru kumasukan ponsel ke saku celana dan dengan membabibuta klakson bersahutan dari belakang. Belum 5 meter sepeda motorku beranjak dari perhentiannya, sepeda motor hitam-hitam berpengendara besar dengan 'lunch box' di kedua sisi badan motor beserta antena yang menjulang panjang dan berbagai aksesori gak guna lainnya menempel di sepeda motor menglaksoniku keras dan norak (ya, kusebut norak karena bunyi klaksonnya mirip suara klakson gerobak roti dan benar-benar menurunkan harga diri sepeda motornya) kemudian menyalib dengan tergesa-gesa. Digeberlah gas hingga knalpotnya menembak mukaku yang tidak ditutupi kaca helem. Pengendara sial! Demi Tuhan aku rela pengendara membahayakan semacam itu tidak selamat. Jahat? Tidak juga.
     Sepanjang jalan aku tak hentinya menyumpahserapahi pengendara sial itu. Untungnya rasa kesalku pudar begitu melihat sosok Reni sudah menungu di pelataran sebuah kafe kecil di utara Kemang
    “Hai!” sapanya riang begitu aku menghampirinya. “Apa kabar?” lanjutnya seraya kami cipika-cipiki..
Aku segera menarik kursi sambil sedikit-sedikti mencuri pandang pada Reni. Tak lama kami sama-sama memesan kopi hitam dan memulai obrolan ringan termasuk membicarakan maksud pertemuan ini sebenarnya: menghadirkan aku dengan temannya! Temannya yang ingin bertemu denganku membahas soal tulisan dan penerbitan.
    “Oh, jadi temen lo itu udah punya naskah dan belum pernah dikirim ke penerbit?”
    “Iya. Katanya malu. Dia pengen minta pendapat dulu sama yang 'udah sering nulis , cuma dia nggak punya temen penulis. Nah, lo kan penulis, makanya gue minta tolong sama elu buat nemuin dia.”
“Kalo 'emang mau ketemu gue kenapa mesti sama elu. Kasih aja kontak gue, ketemu lansung.”
“Iiih, dia tuh pemalu banget, tau nggak. Padahal 'udah gue kasih kontak lo supaya ngubungin dia, tapi nggak dikontak juga kan?”
     “Iya juga, sih. Nggak ada orang ngontak gue.”
    Beberapa menit kemudian pelayan membawakan kopi pesanan kami.
     Sambil menuangkan gula ke kopi, Reni melanjutkan, “Dia tuh parah banget, deh, pemalunya. Apalagi kalo soal cowok.”
     “Kenapa?” potongku.
     “Dia malu, kalo ketemu cowok. Diajarin sama ortunya, sih. Jadi perempuan gak bagus kalo 'ngedatengin' laki-laki.”
     “Lha, terus? Tau gitu kenapa lo ngerekomen gue ketemu sama dia? Lo kan punya temen penulis lain?”
     “Hehehe. Sengaja. Anaknya manis, lho. Chuby gitu, deh. Tipe lo banget pokoknya.”
     “Ckckck. Jadi, gue menempuh perjalanan 80 kilometer lebih buat dijodohin sama orang yang gue nggak kenal?”
     “Ya nggak lah. Itu kan efek samping. Lagian...”
     “Lagian apa?”
    “Elo nggak kangen sama gue? Hehehe” sambung Reni sambil cengangas-cengenges.
     “Kangen. Kangen 'battle gombal' sama elo.”
     “Ah. Elo. Ngegombal melulu urusannya.”
     “Aman, kali. Kan masih free”
     “Terserah, deh.”
     “Lalu, sibuk apa lo sekarang, Ren?”
     “Biasa, masih nanganin klien rese yang minta revisi melulu dengan bajet terbatas. Tapi itu sih gak masalah. Yang jadi masalah sekarang, kalo gue lagi kerja malem di rumah, tetangga gue suka ribut.”
     “Ribut apaan malem-malem?”
     “Tetangga sebelah rumah gue sering berantem sama suaminya gara-gara urusan kerjaan”
     “Kenapa tuh?”
     “Jadi, suaminya itu sering marah-marahin istrinya gara-gara kerjaan kantornya lagi jelek.”
    “Kerjaan kantor si istri?”
   “Bukan. Justru kerjaan si suaminya. Ceritanya, suaminya kan sering nggak menuhin target penjualan di kantornya. 'Udah gitu gajinya sering telat gara-gara perusahannya lagi banyak utang, terus dia digencet terus sama bosnya. Eh, dia malah ngelampiasin ke istrinya di rumah dan ngerasa nggak berguna sebagai suami. Padahal tau nggak, usaha jualan istrinya ngebantu banget keuangan mereka. Bayar listrik, air, sampe bayaran sekolah anaknya.”Reni berhenti sepersekian detik dengan mimik wajah dongkol. 
    “Ah, kaya film Tanda Tanya aja. Suaminya cembokur sama bininya, hehehe.” 
   “Iya. Cuma parahnya, si suami suka marah-marah nggak jelas. Pake bilang, 'istri nggak pengertian', 'perempuan yang melangkahi laki-laki', pokoknya yang nggak masuk akal, deh. Suami gila.” pungkasnya sambil membuang wajah.
    “Kalo lo punya suami kaya gitu, gimana?”
    “Ya gue laporin, lah. Gw aduin ke Polisi dan Komnas Perempuan dengan dakwaan, ka-de-er-te.”
    Aku tersenyum kecil melihatnya. Sudah lama tak menyaksikan langsung Reni yang meluap-luap seperti ini kalau bicara soal perempuan. Aku menimbrunginya lagi.
    “Terus, kelanjutannya gimana?”
    “Kelanjutannya? Ya, masih gitu-gitu aja. Kalo suaminya kumat ya marah-marah, tapi kadang-kadang baikan. Tapi abis itu suka pulang sambil marah-marah lagi. Tau, deh, kapan selesainya tuh urusan mereka.”
    “Tapi, kok lo bisa sampai tau sejauh itu urusan rumah tangga orang?” ledekku.
    “Pernah denger peribahasa 'Tembok berbicara', nggak? Entah bagaimana masalahnya dia jadi rahasia umum ibu-ibu se-gang. Lagian, dia juga pernah cerita, sedikit, sih. Waktu itu pas kebetulan gw ketemu dia lagi nungguin anaknya mandi bola di mal.”
    “Heh? Lo, ikut mandi bola juga?”
    “Bukaaaa...n. Gw abis dari toko buku, kebetulan pas ke foodcourt, ada arena bermain anak-anak juga.”
    “Kirain. Bukannya lo obses banget pengen mandi bola juga... Haha. Becanda-becanda” digoda seperti itu wajahnya mengkerut.
    “Serius dong, ah. Becanda melulu. Belom selesai nih, ceritanya”
    “Iya, iya. Gak becanda lagi. Kaya apa lanjutannya?”
    “Oke, jadi begini.” Reni kembali bercerita dan aku mulai mengurangi candaanku.
    Saking khusyuknya menyimak serunya Reni bercerita aku tak sadar menyeruput kopi terlalu sering dan kini kopiku tinggal 1/5 cangkir lagi. Akhirnya kami keterusan merumpi perihal tetangganya yang sering ribut.
     “Terus, 'gimana?”
     “Komentar dia sih cuma dua hal. Kalo nggak, 'saya masih cinta sama suami saya', atau 'saya takut dikira istri yang melawan suami'.
    “Dan yang paling parah, tetangga-tetangga lainnya malah ikut nyalah-nyalahin dia. Mereka nyaranin suruh sabar, suruh jadi istri yang penurut. Parah, deh, pokoknya.”
    Lalu kami saling tatap sejenak. Reni pun mengeluarkan rokok dari tasnya, lanjutnya, “Bawa korek, nggak?”
    “Eh, iya. Ada nih” begitu kuambil korek dari dalam jaket yang kugantung di kursi, lalu kunyalakan rokok di genggamannya.
    “Tengs.” katanya begitu asap pertama keluar dari mulut. Reni malanjutkan bicara. “Kadang... Perempuan sendiri yang membiarkan dirinya tetap di dalam keterkekangan, walau sebenarnya mereka ingin bebas.” lanjutnya agak pelan
    “Masyarakat.” timpalku hingga Reni mengernyitkan dahinya bingung. “Maksud gue, masyarakat juga ikut andil. Kalau bukan masyarakat, siapa yang membentuk? Orang tua kita, tetangga, bahkan saudara. Sejak kita kecil, merekalah yang 'berusaha' membentuk kita seperti apa yang mereka inginkan.”
    “Konstruksi sosial? Gitu, maksud lo. Contohnya apa?”
    “Bonyok gue, contohnya, termasuk oom sama tante gue. Mereka nggak pernah bosen ngomentarin rambut gue yang gondrong. Nggak pantes, lah. Dibilang kaya perempuan, lah. Emang kalo cowok gondrong kenapa? Rambut panjang kan bukan cuma milik perempuan?”
    “Hahahaha...” sambung Reni kemudian menghisap rokok kurus mentolnya yang tinggal sejempol tangan.
   ”Maklum, didikan Orde Baru. Jangan, jangan, ortu lo juga berharap lo jadi pegawai negeri, atau paling banter karyawan kantoran yang statusnya jelas.” godanya diiringi senyum lebar yang memperlihatkan deretan giginya yang rapi.
    “Betul! Dapat dipahami, PNS. Berhubung doi PNS di Korps Marinir, gue inget banget waktu gue kecil bokap sering banget mengidam-idamkan gue jadi ABRI. Anjrit, suka parno gue waktu itu. Padahal dari kecil pengen banget gue punya rambut panjang.”
    “Ortu gue juga gitu, kok. Awalnya nggak setuju gue kerja kaya begini, apalagi freelance. Katanya, 'Kerja apa, tuh, freelance? Emangnya freelance kerjaan?' Malah nyokap gue minta bokap nyariin tempat buat gue di kantornya. Bokap gue mah iya, iya aja. Dia netral. Lagian...” Reni menghela nafas dan mengalihkan tatapannya ke dalam cangkir kopi. “Dia nggak pernah suka sama orang-orang yang kerja kaya kita. Aktif di malam hari, masih molor di siang hari. Katanya nggak bagus anak perempuan bangun siang. Jodohnya jauh.”
    “Makanya lo masih 'sendiri'. Kena kutuk emak lo, hahaha...”
    “Ah, rese', lo. Bukan kutukan, kali. Gue emang nggak buru-buru pengen kawin. Lo juga sama, rajin ngeksis tapi nggak ada yang nyangkut juga.”
   “Tapi ngomongin rambut gondrong, tetangga gue juga sering komentar.”
    “Komentar apa?”
    “Jadi waktu itu gue mau pergi sama adik gue naek motor. Eh, pas mau make helm, tetangga gue nyaut, 'Wah, adeknya yang perempuan aja rambutnya pendek, masa' kakaknya yang laki-laki rambutnya panjang.' Ya gue ketawa basa-basi aja.”
    “Hahaha. Usil banget ya, tetangga lo itu?” Reni hanya cekikikan.
     “Terus ada lagi yang lain. Bukan tetangga, sih. Ceritanya gue lagi jemur baju pagi-pagi, tau-tau ada ibu-ibu yang bilang 'gini ke gue: 'Telurnya, Mbak.' Pas gue nengok, si ibu-ibu itu bilang. 'Eh, maaf, mas. Saya kira.'”
     “Terus, terus?”
     “Ya 'udah, gitu doang. Gue sih senyumin aja biar dia nggak ngerasa gue tersinggung. Tapi ada, tetangga gue yang, tau tuh, ngeledek atau sebenernya muji.”
     “Soal rambut gondrong lagi?”
     “Bukan! Tapi soal kerja domestik.”
     “Maksud lo?”
     “Kerjaan rumah, maksud gue. Masih sama kejadiannya, jemur baju.”
     “Ooo... Gimana, gimana ceritanya.”
     “Nah, pas gue jemur baju, tetangga gue pas lewat ngomong kaya gin,i 'Istrinya lagi hamil, San? Rajin bener.'”
     “Itu!” sekonyong-konyong Reni memotong dan kami saling tatap dengan tensi meninggi.
     “Hah?”
     “Itu, yang gue maksud konstruksi sosial. Secara nggak langsung, tetangga lo bilang, 'jemur baju adalah pekerjaan perempuan.'”Aku bengong sebentar sejurus pernyataannya.
     “Ah, dia cuma becanda, kali, Ren.”
     “Ngerti, maksudnya becanda. Tapi kan tanpa disadari dia ngomongin siapa diri dan latar belakangnya. Gue yakin, tuh, dia tumbuh dalam lingkungan atau keluarga yang patriarkis.”
     “Ah, elu Ren. Segitunya.”
     “Pendapat aja, sih. Boleh setuju boleh enggak. Soalnya gue juga punya sepupu kaya begitu. Dia anak cowok sendiri, dari kecil selalu dimanja dan diturutin kemauannya dan paling dispesialkan.”
    Tampaknya arah pembicaraan semakin hot. Baiknya kunyalakan rokokku juga.
    “Dari kecil nggak pernah disuruh beresin mainan, nyuci piring, nyuci baju. Semua kerjaan rumah, nyokap sama saudara perempuannya yang ngerjain. Dan dia satu-satunya anak yang dikuliahin.”
     “Anak terakhir?” tambahku sambil menghembuskan asap rokok.
     “Iya. Tapi menurut gue bukan soal anak terakhir. Keluarganya aja yang kebangetan mengagungkan anak lelaki. Malah oom dan tante-tantenya juga sering bilang, 'anak lelaki tak perlu mengerjakan pekerjaan perempuan.'”
     “Halah. Sampe kaya gitu.”
     “Tau, deh. Gue juga suka bete sendiri dengernya. Parah banget, tuh keluarga.”
     “Ren.” aku memotong. ”Ngomong-ngomong temen lo mana? Nggak muncul-muncul?”
     “Eh, iya, nih. 'Udah gue SMS sama BBM, gak ada reply sama sekali. Sorry, ya, jadi nunggu.”
     “Nggak apa-apa. Kan sambil ngobrol kita. 'Udah lama juga kali, ngak ngobrol asyik kaya begini.” Reni hanya balas senyum sambil memencet-mencet tombol ponselnya.
     Beberapa kali ia mencoba menghubungi temannya itu dan selalu tiada jawaban. Tampak perasaan bersalah padanya dan beberapa kali mencoba meyakinkanku kalau ia akan datang.
     Hampir sejam berlalu. Tiada kabar dari temannya. Reni keliahatan semakin kesal dan sesekali mengeluhkan kelakuan temannya.
     Tak seberapa lama ponsel Reni berdering, dan...
     “Kamu kemana aja, sih? Di-SMS, BBM, telfon, nggak ada jawaban...” ya, sudah kuduga. Ia meracau, haha.
     “...Hah? Dimana?... Ya, tapi, kamu ngabarin, dong. Temenku 'udah jauh-jauh dari Depok dateng ke Kemang cuma buat nemuin kamu...”
     Selain gerutuan semi omelan Reni aku bisa mendengar suara temannya yang pemalu itu, dengan tempo bicara cepat dan terburu-buru.
     “Kenapa, nggak bisa datang temen lo itu?”
     “Iya” balasnya lesu. “Tadi pagi kakeknya masuk rumah sakit. Struk. Karena lagi nggak ada siapa-siapa di rumahnya, dia nyetirin kakeknya ke rumah sakit bareng nyokapnya.”
     “Pasti ribet banget ya, sampai nggak bisa ngabarin?”
     “Iya. BB dia juga mati, mana chargernya ketinggalan. Ini aja dia pinjem telfon nyokapnya. sorry banget ya, San, jadi ngerepotin begini. Gue mau marah ke dia juga bingung.”
     “Nggak apa-apa.” Jawabku singkat
    “Lo pasti marah, deh, sama gue. 'Udah maksa elo dateng. Padahal lo lagi banyak orderan”
     “Enggak, Ren. Gue nggak marah. Malah gue seneng.”
     “Seneng? Kenapa?”
     “Iya, gue malah seneng temen lo nggak dateng. Berarti kita punya waktu lebih banyak, kan, buat ngobrol. Mumpung ada waktu, nih. Inget nggak, berapa kali kita mau ketemuan nggak jadi terus?”
     “Bener juga, ya. Tapi serius, nih. Elo nggak marah?”
     “Enggak, Reeeennnn...”
     “Bener, yaaa.... Nggak marah.”
Akhirnya aku menghabiskan sesorean bersama Reni. Dan kami terpaksa nongkrong lebih lama beserta cangkir-cangkir kopi yang menyusul karena sang hujan datang. Obrolan semakin ngalor-ngidul. Rumpian tentang tetangga, pekerjaan, hingga kelakuan pengendara motor dan rekonstruksi sosial menjadi sasaran empuk kami. Nyaman benar, menemukan rekan bincang seperti dia. Bukan hanya keterbukaan dan sifat kritisnya, tapi aku tak bisa bohong kalau aku memang mengaguminya.
     Empat jam terlewat tanpa isyarat. Kami memutuskan pergi ke tampat lain yang ia tunjuk. Ia mengajakku menonton pertunjukan teater di TIM. Dan ketika ada pengendara motor yang ugal-ugalan tanpa helm menyalip kami secara zig-zag, tanpa tedeng aling-aling Reni meneriakinya. “Bego! Mati aja, lo Bang!”
     Tanpa disangka pengendara motor itu menurunkan kecepatannya dan memelototi kami berdua.
     “San, buruan, San. Kebut aja. Hehehe.”
     “Gak mau diomelin dulu?”
     “Gak usah. Tuh ada truk di depan!”
    Benar saja, pengendara motor itu berhenti tiba-tiba dan hampir menabrak truk yang melintas dari arah berlawanan. Kami melewatinya dengan kebut dan menertawakannya bersama-sama begitu sudah jauh.
     “Gila, lo, Ren!”
     “Elo juga. Haha!”
    Ya. Kami terus melaju di atas dua roda dengan gurauan-gurauan hangat lainnya. Dan meskipun pengendara sial itu mengejar kami namun tak berhasil. Ada untungnya juga, 'pertemuan gagal' sore ini. Dan tiada hentinya, Reni mempermasalahkan masalah ketertimpangan perempuan di masyarakat yang disebutnya “rekonstruksi sosial.”
-Selesai-
16 April 2012
06:03

Komentar

Postingan Populer