BYAR-PET

“Kring-kring-kring.”

“Petok-petok-petok!”

“Srek, srek, srek.”

“Ting-ting-ting-ting.”

Suara-suara di pagi hari bagai harmoni sebuah orkestrasi. Mulai dari bel tukang sayur yang menjajakan dagangannya menggunakan sepeda, sekumpulan ayam yang tengah mencari makanan, suara ibu-ibu tua menyapu jalanan hingga mangkuk tukang bubur.

            Keriuhan ini menjadi rutinitas yang tentu saja dialami banyak orang, termasuk Rizka, seorang ibu muda dengan satu anak bernama Cantika yang masih duduk di bangku TK B dan suaminya, Fauzan, seorang wirausaha di bidang penerbitan.

            Setelah 5 tahun menjalankan kehidupan seperti ini, tahun ini dirasa menjadi tahun terberat dan “luar biasa”, sejak kedatangan virus Corona.Tak ada lagi me time dan waktu senggang di rumah, tak bisa sering-sering pergi keluar bersama anak dan suami di akhir pekan, bahkan berkunjung ke rumah orang tua pun menjadi sangat terbatas.

            Stay at home akibat pandemi menjadi perjuangan tersendiri, apalagi kalau sudah soal pembelajaran dan bekerja jarak jauh.

            “Bu! Ini ‘udah ya aku siapin seragamnya”, ujar suara menggemaskan dari balik kamar.

            “Tunggu, sayang. Ibu nyuci sayur dulu. Kamu keringin badan aja dulu? Sekalian ambil laptop di meja belajar ya.”

            “Oke, Ibu!”

            “Beb”, sejurus kemudian Ayah muncul membawa cangkir kosong.

            “Ya” , jawab Ibu sekenanya sambil mematah-matahkan dahan kangkung dari batangnya.

            “Kopi yang semalam aku beli, di mana ya?”

“Itu cari aja di drawer, tempat biasa”

“Oh, di situ.”

“Eh, Yah, tolong dong. Itu mi-nya diaduk. Untuk sarapan Cantika.”

“Oke, Komandan…”

“Sekalian tuangin ke mangkuk ya, kasihin anaknya juga.”

“Siap, Bu Bos…”

Sementara Ibu dan Ayah mengerjakan pekerjaan di dapur, Cantika yang masih berusaha mengeringkan rambut dengan tubuh dibalut handuk, bernyanyi-nyanyi gembira. Tak perlu lama ia sudah mendapatkan seragam sekolah dari lemari baju.

“Cantika… Halooo… Ayah dataaang, membawa semangkuk energi, untuk kamu…” goda ayah menuju kamar Cantika mengantar sarapannya, yang langsung dipotong oleh Cantika.

“Ayah, stop! Don’t come close! Aku mau pakai baju dulu.”

Okay, sergeant. Sarapannya Ayah taro di depan kamar, ya!”

Aye-aye, Sir!

Ayah pun kembali ke dapur mempersiapkan sarapannya sendiri dan mendatangi istrinya lagi yang kini tengah mencuci ikan.

“Bu, camilan yang beli di Bandung, disimpan di mana?”

“Di drawer yang tadi juga. Kan kamu yang masukin, masa lupa!?”

“Oh, gitu ya. Baiklah. Eh, satu lagi!”

“Apa lagi, sih?”

Love youHehehe.”

“Ih, apaan sih”, balas Ibu malu-malu mau.

Ayah sudah di meja kerjanya dan menyiapkan beberapa berkas untuk bahan presentasi melalui rapat daring dan Ibu menamani Cantika bersiap sekolah daring.

Laptop dinyalakan, sambil menunggu waktu sekolah, Cantika sarapan sendiri sedangkan Ibu menyeterika pakaian yang baru diangkatnya kemarin sore dengan beralaskan beberapa lembar kain tebal di atas lantai. Ayah, dengan santai tapi serius mengikuti rapat melalui Zoom, begitupun dengan Cantika.

            Sesekali Ibu ke belakang sekadar melongok mesin cuci yang sudah dinyalakan, lalu masak nasi. Ia mencuci beras lalu memasukkannya ke dalam rice cooker. Tak lama datang sahutan dari luar rumah, “Paket! Untuk Rizka!”

Segera Ibu menyambut paket berisi sambal yang dibeli dari temannya. Ia kembali ke dapur, meletakkan sambal tersebut dan beralih ke kamar Cantika.

“One plus one, uqual two. Two plus two, equal four! …” celoteh cantika menunjukkan kemampuan berhitungnya kepada gurunya melalui layar laptop.

“Oh, aman”, batin Ibulalu melanjutkan pekerjaan menyeterikanya, tanpa memperhatikan kalau baterai laptop yang digunakan Cantika sudah mulai merah.

“Bu!… Sssttt, Bu! Sst! Rizkaaa…”, sekonyong-konyong Ayah muncul dari balik pintu sambil berbisik-bisik.

“Apaan? Jangan berisik”, balas Ibu dengan ekspresi dan kode telunjuk di depan bibir.

Ayah masih mematung di balik pintu dan berusaha berberbicara dengan bisik-bisik. Tak jelas apa yang ia sampaikan, ia berusaha menggunakan bahasa tubuh yang menunjuk ke arah bibirnya lalu ke menunjuk Cantika.

“Apaan, sih? Nggak kedengeran!”, balas Ibu sambil berbisik juga, takut mengganggu Cantika yang sedari tadi tidak terganggu dengan apapun.

“Sini! Ngomong, apaan, sih?”, kembali Ibu melanjutkan dan susah payah Ayah merambati tembok ke dalam kamar Cantika, berusaha tidak mengganggu konsentrasi anaknya.

“Sssttt. Jangan berisik. Aku lagi meeting.” Kata Ayah berbisik di telinga Ibu.

“Ya ‘udah, pindah sana ke belakang biar nggak berisik.”

Nggak enak di belakang. Sinyal wifi-nya nggak bagus. Takut ngelag.”

“Kamu pake earphone, lah. Mana bisa si Cantika disuruh pelan-pelan.”

Earphone aku putus gara-gara digigit sama Felix kemarin.”

“Ya ‘udah, pakai punyaku. Di pouch dekat rak buku. Awas lho, nggak dibalikin.”

“Iye, iye… Dibalikin”

Ayah segera mengambil earphone  di kamar dan melanjutkan rapatnya.

“Ada-ada aja, ah. Anak kaya gini mana bisa diem”, gerut Rizka sambil lanjut menyetrika.

“Ayo Cantika. Kamu kalau sarapan pakai apa? Sebutkan makanan yang ada di gambar?” Kembali kita menyaksikan keseruan Cantika belajar.

“Hm… Jam!”, tukas Cantika begitu menunjuk gambar selai stroberi. “And, bread!” lanjutnya lagi menunjuk roti.

“Okay. Jam and bread. So, Cantika eat breakfast with?” sambung sang guru.

“Jambret!”

“No… Not jambret. Jam and bread, Cantika…”

“Hehehehehe… Kidding, Miss.” Ledek Cantika jahil.

Sambil terus menyeterika, Ibu geleng-geleng kepala dengan kelakuan Cantika. “Dasar bocah,” gumamnya.

            “Permisi! Paket untuk Rizka!” lagi. Suara kurir dari luar. “Permisi! Paket untuk Rizka! “

            Segera Ibu menghampiri. Bukan karena bersemangat menerima paket, melainkan agar sang kurir tidak terus-terusan memanggil hingga mengganggu konsentrasi Cantika.

            “Duh, paket apaan lagi, sih? Perasaan ‘udah nggak pesen apa-apaan.”

            Diterimanya paket tersebut. Setelah kurir memotretnya sebagai bukti barnag sudah diterima, Ibu mencermati baik-baik paket tersebut.

            “Pengirim: Babemakmur? Nita? Hah, apaan, sih?”

            Ibu kembali ke dapur, dab rasa penasaran membuat ia membuka paket tersebut.

            “Ya Allah, sambel lagi! Tapi siapa yang pesen?”

            “Itu punya aku!”, sahut Ayah sekonyong-konyong, buru-buru menghampiri Ibu. "Temenku yang jualan. ”

            “Oh… Makanya aku bingung, masa pesen sambel melulu.” balas Rizka.

            Rizka dan Fauzan kembali ke posisi awal masing-masing. Sementara dilihatnya Cantika masih semangat belajar, di sisi lain sekeranjang pakaian menunggu untuk disetrika.

            “Okay! Let’s take a break! Boleh minum dulu ya. Habis itu, kita lanjut ujian! Are your ready?”

            “Yes, Miss. I’m ready!”

            Kontan saja Cantika mengambil sekotak susu coklat yang sudah disiapkan sejak awal dan meminumnya.

            “Bu”, sahut Cantika.

            “Ya.”

            I think this laptop needs to be charged. Lihat tuh, baterenya ‘udah merah.” tambah Cantika sambil menunjuk ke penunjuk daya di pojok kanan layar laptop.

            “Iya, sebentar. Tanggung nih.”

            “Bu”, lanjut Cantika sambil tetep menyeruput susu coklatnya. “Ibu sudah masak nasi?”

            “Sudah, dong…Eh… Ya ampun. Coba tolong kamu liatin sebentar. Udah cook belum?”

            Cantika segera bergegas ke dapur, dan didapatinya rice cooker masih berada pada mode warm. Tanpa menunggu perintah Cantika memindahkannya ke mode cook. Cantika berlari dan kembali ke kamar.

            “Bu, tadi masih warm, belum cook! Jadi aku pindahin, deh biar cook!

            Good, girl! Thank you, Cantika.” Puji Rizka.

            You’re welcome, Ibu!”

            Rizka beralih sebentar ke dapur dan mangambil minum di kulkas sekalian memastikan bahwa nasi benar-benar sedang di-cook, pakain di mesin cuci tinggal dibilang, ikan yang dikukus hampir matang dan sayuran serta bumbu yang sudah disiangi siap dimasak untuk santap siang.

            Tak lama lagi Cantika melanjutkan pelajarannya dan akan masuk ke materi ujian, Rizka kembali ke kamar Cantika. Kali ini sudah membawa adaptor untuk mengisi daya laptop.

            “Okay. Kembali lagi. Sudah siap untuk ujian?”

            “Siap, Miss”

            “Yuk! Kita stretching dulu ya, biar fresh lagi!” Miss Arin guru Bahasa Inggris mengarahkan.

            Rizka pun sudah menyambungkan adaptor ke lubang listrik dan saat ia mencolokkan ke soket daya pada laptop…

            “Pet!”

            Listrik padam. Seisi rumah gelap meski kamar Cantika tetap terang karena mendapatkan sinar mathari tak langsung melalui jendela. Sambungan internet terputus, mesin cuci berhenti berputar, rice cooker pun tertahan untuk mengeluarkan uapnya.

            “Yah, gelaaap!?”, Cantika kehebohan dibuatnya.

            “Innalillahi,” tukas Rizka.

            “Ya salaam…” gerutu Fauzan.

            Seketika aktifitas belajar dan rapat terhenti. Kelumpuhan terjadi akibat ketiadaan listrik. Bak “gayung bersambut”, laptop yang dipakai Cantika mati, sementara ujian segera dimulai.

Dengan sigap Rizka mendatangi Fauzan untuk meminjamkan laptopnya yang daya baterainya masih setengah penih agar dipakai Cantika dan Fauzan menggunakan ponselnya sendiri untuk melanjutkan meeting, yang beterainya sendiri masih 27%.

“Eh tapi aku tethering pake hape kamu juga ya. Aku belum isi data, nih”, kata Fauzan menjalaskan.

“Iya, pake, deh pake, yang penting urusan anak dulu nih!”

“Eh, urusanku juga penting, lhooo…”

“Iya, iya. Penting. Sini, buruan laptopnya.”

“Nih, nih, nih.” Fauzan segera memberikan laptopnya kepada Rizka, dan Rizka kembali ke kamar Cantika, menyalakan tautan wifi pada ponselnya kemudian menyambungkan jaringannya ke laptop dan mengalihkan aplikasi jaringan Zoom ke tautan sekolah Cantika.

Begitulah. Pagi yang awalnya biasa menjadi luar biasa hanya karena listrik mati. Tanpa pemberitahuan, tanpa persiapan. Dengan segala perjuangan di tengah pandemi, yang segalanya harus bisa dikerjakan dari rumah, ketergantungan akan koneksi internet, hingga membatasi diri dari segala kegiatan tanpa mengurangi beban dan tanggung jawab, entah mengapa pagi ini menjadi perjuangan tersendiri bagi Rizka. “Menjadi sorang ibu tidak mudah!”, hiburnya dalam hati agar semua terasa ringan dan mudah untuk dijalankan.

Dengan penuh keikhlasan dan kesabaran, akhirnya Cantika berhasil mengikuti ujian dengan daya laptop yang tersisa, meski kadang koneksinya tersendat: pun dengan Fauzan yang tersendat-sendat saat rapat karena kuota internetnya mesti berbagi dengan Cantika, dan Ibu hanya bisa melipat pakain yang belum disetrika untuk dilanjutkan nanti.

Setelah sekolah dan rapat selesai, Fauzan ikut nimbrung di kamar Cantika, bersama Rizka dan Cantika yang sedang rebahan di kasur.

“Akhirnya, selesai juga. Deal proyek! Untung masih sempet nyala hapenya”, kata Fauzan.

“Iya, nih. Untung kuotaku masih banyak jadi masih bisa dipake Zoom dua orang”, sambung Rizka.

“Iya, nih. Aku juga jadi nggak bisa nonton gara-gara mati lampu! Huh”, Cantika pun ikut-ikutan mengeluarkan uneg-unegnya yang dibalas tawa dari Ayah dan Ibu.

“Alhamdulillah tapi ya, semua beres. Bisa santai dulu deh sambil nunggu lampu nyala”, kata Ayah lagi.

Mereka bertiga pun bercanda bersama setelah sama-sama berjuang melewati pagi yang melelahkan. Dan…

“Paket! Untuk Rizka”, lagi, ini paket ketiga.

Fauzan dan Rizka saling tatap curiga dan sama-sama berceloteh, “Siapa lagi yang pesen sambel?” 


27 Oktober 2020


Komik hanya pemanis. Biar seru aja :p 

Komentar

Postingan Populer