PROKLAMASI KEMERDEKAAN DAN PROKLAMASI CINTA
Bagi bangsa Indonesia, 17 Agustus merupakan tanggal istimewa karena ada momen bersejarah di sana. Apalagi kalau bukan peristiwa Proklamasi Kemerdekaan, yang menjadi legitimasi kepada dunia bahwa bangsa ini berhak hidup bebas dari cengkeraman penjajah. Namun bukan hanya bangsa Indonesia, pada tanggal 17 Agustus ada cerita menarik juga yang pernah saya alami, tepatnya saat duduk di kelas 3 SMA. Momen dimana awal dari episode “kisah kasih di sekolah” yang pernah menjadi bagian dalam hidup saya.
***
17
Agustus 2003. Matahari sudah bersinar cukup hangat. Cahayanya menyapu seisi
lapangan sepakbola yang jaraknya tidak terlalu jauh dari alun-alun Kecamatan
Jonggol, Kabupaten Bogor. Suasana masih sangat riuh, karena baru saja
dilaksanakan upacara pengibaran Bendera Merah Putih memperingati Hari
Kemerdekaan Republik Indonesia yang dihadiri para siswa sekolah menengah atas
di kawasan Jonggol dan sekitarnya. Riang, tentu saja. Karena meski berseragam
sekolah, kami hanya datang untuk melaksanakan upacara bendera dan tidak ada
kegiatan belajar mengajar di kelas. Jadi hari itu terbilang hari libur.
Di
antara suasana yang penuh suka cita, saling tegur sapa dan bercanda antar
teman, aku duduk di sisi lapangan berumput tersebut sambil membaca sebuah novel
horor karya R.L. Stine berjudul “The New Year’s Party”. Seolah
tidak ikut ke dalam vibes sekeliling, aku asyik dengan duniaku
sendiri. Bukan karena tidak punya teman, toh aku sempat bertegur sapa dengan
beberapa rekan sekelas. Sebagai introvert, hadir di tengah keramaian bisa jadi
melelahkan dan menguras energi sekalipun tak melakukan apa-apa. Pun aku tidak
suka berbasa-basi atau membicarakan hal yang tidak benar-benar perlu
dibicarakan. Melihat diriku yang seperti ini, aku sering teringat dengan lirik
lagu “Anak Jalanan” yang dipopulerkan oleh legenda musik Indonesia, Chrisye
yang terdapat pada album “Sabda Alam”:
“Anak
jalanan korban kemunafikan.
Selalu
kesepian di keramaian.”
Ya,
sepi dalam ramai dan ramai saat sepi.
Halaman
demi halaman kubaca, larut dalam kisah pembunuhan, sebuah peristiwa yang tak
seorang pun menyangka akan terjadi. Seperti halny aku yang tak menyangka dengan
munculnya sosok di hadapanku yang sedang jongkok seolah penasaran dengan sampul
buku yang isinya tengah kubaca.
Kuturunkan
bukuku, kulihat seraut wajah penuh rasa penasaran.
“Gue
pinjem dong, kalo ‘udah”, ucapnya tanpa pembukaan. Aku menatap wajahnya seolah
ingin berkata sesuatu namun tidak ada satu kata pun terucap. Ia balas menatapku
seakan berharap jawaban, “Iya, entar gue pinjemin.”
Setelah
beberapa kilatan momen aku baru ngeh kalau dia adalah teman
sekelasku juga.
“Eh,
iya. Boleh, boleh. Ini ‘udah mau sekesai juga, kok”, jawabku yang langsung
dibalas dengan rona ceria wajahnya yang tampak kemerahan.
Aku
menutup buku, bangkit, lalu terciptalah percakapan. Ia bilang kalau aku juga
boleh meminjam bukunya jika aku meminjamkan bukuku kepadanya.
“Nih
gue lagi baca Lizzie McGuire. Sebentar lagi juga selesai. Entar tukar-pinjam,
ya”.
“Oke.”
Matahari
kian meninggi, kilaunya semakin menusuk mata. Para siswa yang tadi berkumpul di
lapangan satu persatu bubar dan melanjutkan kegiatan masing-masing. Sebagian
lanjut nongkrong, sebagian pulang, termasuk aku. Dalam perjalanan pulang aku
terus terbayang wajahnya, lebih tepatnya tingkah anehnya menungguiku membaca.
Sejak
hari itu, aku dan dia mulai sering bercengkerama. Selain memang satu kelas,
ternyata obrolan kami juga nyambung terutama saat bicara soal buku dan komik.
Dari situ aku merasa ada kecocokan, setidaknya dalam hal kesukaan membaca.
Semakin
lama kukenal, entah mengapa aku semakin tertarik padanya. Banyak orang bilang
awal tumbunya rasa suka itu “dari mata turun ke hati”, dengannya “dari buku
turun ke hati.” Namun seiring berjalannya waktu dan intensitas komunikasi yang
bertambah intens, aku menyadari hal apa dalam dirinya yang membuatku tertarik
dan merasa sefrekuensi.
Meski
di sekolah ia mengenakan kerudung, namun ia agak beda dengan siswi berkerudung
lainnya yang lebih menunjukkan sisi feminin dan menjaga sikap. Bukan ia tidak
bisa menjaga sikap, ia hanya terlihat berbeda di mataku. Gadis tomboy yang
kalau bicara slenge’an, becandanya suka teriak dan tertawa
terbahak-bahak, di sisi lain misterius namun menggemaskan. Pemberontak. Ya,
kurasakan ada jiwa pemberontak dalam dirinya, seperti halnya jiwaku.
Hari
ke minggu, lalu ke bulan, ada yang tumbuh di dalam perasaan. Entah perasaan ini
disebut apa? Saat ada di dekatnya, aku berharap waktu berjalan lebih lambat.
Saat sedang bersamanya, tidak perlu ada hal penting untuk dibawa. Pernah suatu
hari ia mengajakku pergi ke sebuah mall selepas pulang sekolah, melihat-lihat
komik dan benda-benda lucu di toko buku tanpa membelinya. Atau duduk semeja
padahal seharusnya itu tempat orang lain.
Ada
beberapa kejadian yang kuingat tentangnya. Salah satunya kejadian lucu dan unik
menurutku. Entah karena peristiwa apa, aku dan dia bertengkar. Kami tidak
saling sapa, apalagi bercanda sambil membicarakan buku atau komik apa yang
sedang kami baca. Beribu prasangka bercokol di benakku, “apa yang sudah
kulakukan” hingga ia tak acuh padaku? Sampai akhirnya di jam istirahat ia
menghampiriku dan meletakkan selembar kertas yang dilipat ala kadarnya. “Nih,
baca ya!” katanya dingin sambil lalu. Tempo jantungku langsung meningkat. Bukan
karena takut ia iseng dengan meletakkan paper clip yang diikat karet dan
memuntahkan potongan kertas kecil-kecil saat dibuka –seperti yang pernah
kulakukan terhadapnya dan ia kaget setengah mati! – tapi takut kalau ada
sesuatu yang menyakiti hatiku di dalam surat itu.
Kutunggu
suasana agak sepi untuk membukanya. Kata per kata kubaca dengan seksama.
Tatapanku tajam menelisik tulisan tangannya. Setelah kalimat terakhir, aku menarik
nafas dan menghelanya panjang kemudian ketawa ngakak dalam
hati. Ternyata itu adalah surat permohonan maaf jika telah berbuat salah serta
sikapnya belakangan ini yang kian cuek kepadaku. Tapi bukan itu yang membuat
lucu, melainkan permohonan terakhir sebagai penutup surat:
“Kalo
elo maafin gue, tolong sobek-sobek surat ini dan balikin ke gue semuanya.”
Selanjut
aku tersenyum geli sekaligus sangat tersentuh. Betapa hatinya sangat lembut dan
rapuh. Aku tidak langsung menyobek dan mengembalikannya. Tapi sepulang sekolah
kufotokopi terlebih dahulu, baru kemudian kusobek kecil-kecil sesuai
permintaannya dan kukembalikan esok hari. Seperti yang diharapkan, suasana
kembali normal setelah kukembalikan suratnya dalam bentuk sobekan-sobekan
kecil. Awan mendung yang semula melayang di atas kepalanya kini sirna dan
berubah menjadi sinar cerah. Lalu untuk apa kufotokopi surat tersebut?
Kopiannya kutempel di buku harian.
Peristiwa menyobek surat bukan satu-satunya peristiwa yang sangat membekas di dalam ingatanku, melainkan ada beberapa peristiwa menarik –bahkan emosional– lainnya hingga bagaimana kisah kami berakhir.
Bersambung...
Komentar
Posting Komentar