BURU-BURU BURUK
"Brak!!!" Seketika suara hentakan pada pintu mobil memecah fokus. Sekelebat gerobak lewat dengan agak cepat, dan saya buru-buru menengok apa yang terjadi dengan pintu mobil tersebut. Baik-baik saja, pikirku, tak ada sesuatu yang "wah" sehingga membuatku perlu risau. Beda halnya dengan supir yang segera keluar dan tampak tidak tenang dengan apa yang terjadi barusan. Dengan seksama mencari-cari apa yang salah, dengan terampil Sang Supir menemukan luka baru pada pintu mobilnnya --kenapa "baru", sebab sudah ada beberapa lecet di pintu tersebut. Terjadi pertengkaran kecil antara kami.
"Kan 'udah saya bilang sabar Pak, Bapak main buka pintu aja", selanya ngegas, sementara saya diam seribu bahasa. Sambil terus mengelus-elus pintu mobilnya, Sang Supir kembali meracau, "Kalau kaya gini susah nih, Pak, tuh, lihat tuh, dalem begini... Wah, bisa kena tiga setengah, nih!". Tiga setengah? Tiga setengah apa? Tiga setengah juta, atau tiga ratus lima puluh ribu? Pikiranku mulai travelling.
Saya paham, pada akhirnya Sang Supir minta ganti rugi atas kejadian yang menyebabkan pintu mobilnya lecet. "Enaknya gimana nih, Pak? Seumur-umur saya nggak pernah kaya gini sama kastamer", kembali, ia meracau. Saya yang sebenarnya kurang terlalu paham mengenai eksterior permobilan dan kebetulan tidak membawa dompet, pasrah saja mendengar tuntutan Sang Supir.
Karena saya sedang tergesa-gesa sebab sedang ditunggu, saya tak mengonfrontasi apapun, yang penting urusan cepat selesai. Entah karena bimbang atau berharap saya memberikan uang, Sang Supir kembali melayangkan pertanyaan, "Enaknya gimana nih, Pak?". "Ya udah Pak, Bapak bawa aja ke bengkel, nanti kasih tahu saya kena berapa. Saya juga nggak bisa nyelesain sekarang nih, saya nggak bawa dompet. Ini aja pakai aplikasi temen saya pesannya. Simpan nomer saya", akhirnya saya membuat keputusan, yang tak segera di-iyakan oleh Sang Supir. Ia nampak bimbang dan tak yakin dengan ucapanku. "Ya udah, kalo sampe nomer saya diblok, saya datengin Bapak ke tempat ini", ancamnya. "Nggak akan saya blok. Nomor saya aktif, kok", balasku tegas. Akhirnya setelah menempuh kesepakatan dan saya meminta maaf, Sang Supir pergi dan saya melanjutkan langkahku dengan pikiran berkecamuk.
Malamnya setelah beberapa kali ditagih lewat pesan WA, saya menransfer uang sejumlah Rp250.000, nominal yang membuatnya bungkam. Akhirul kalam saya meminta maaf sekali lagi atas insiden sore tadi, dan akhirnya kami justru saling berbalas WA dengan mendoakan agar usaha masing-masing berjalan lancar.
***
Setelah kurenungkan, peristiwa sore tadi lumayan konyol. Hanya karena buru-buru dan ingin segalanya cepat-cepat terjadi insiden pintu mobil lecet yang menyebabkan uang saya melayang. Padahal sebelumnya Sang Supir sudah memperingati agar hati-hati dan jangan buru-buru saat membuka pintu. Tapi karena di benakku sudah terpatri dengan amat dalam bahwa "segalanya harus cepat-cepat" sebab ada orang yang ingin semuanya buru-buru, hingga akhirnya secara spontan saya "cepat-cepat" dan "buru-buru". Konyol karena peristiwa yang hanya berlangsung dan selesai hanya dalam waktu beberapa menit membuat sejumlah uang melayang.
Bagi sebagian orang mungkin sikap saya yang terkesan "pasrah" saat diminta mengganti kerugian adalah sikap lemah karena tak ada perlawanan sama sekali. Atau bisa saja ada yang merasa ini sikap yang bodoh karena tidak ada tawar-menawar soal biaya ganti rugi, paling tidak mencari informasi di internet berapa biaya perbaikan pintu yang lecet agar tidak dibohongi. Kita pun tidak tahu saat Sang Supir menyebutkan taksiran kerugiannya, apakah dia jujur atau hanya mencari kesempatan dalam kesempitan? Karena bagi sebagian orang uang Rp1 itu teramat penting, atau memenangkan setiap perdebatan adalah tentang harga diri.
Tapi ini bukan soal nominal maupun harga diri, ini soal integritas. Mengakui kesalahan yang telah dilakukan beserta konsekuensinya, kejujuran bahwa saya tidak akan lari dari tanggung jawab, dan yang tak kalah penting, bagaimana menjadi orang yang bisa dipercaya. Uang Rp250.000 itu cukup besar untuk kejadian remeh seperti di atas, tapi tidak ada artinya untuk memberi sebuah pelajaran bahwa "buru-buru itu buruk." Memang betul, ada saatnya kita santai. Karena segala revisi akibat kesalahan yang terjadi adalah buah "segala sesuatunya harus cepat-cepat."
***
Kejadian Rabu sore, 21 Mei 2025
Komentar
Posting Komentar