GOD IS IN THE TV
Sudah lama saya ingin membuat tulisan ini, tapi baru kesampaian sekarang. Wah, serem amat judulnya? “Tuhan ada di dalam televisi”. Judul itu nggak salah, kok, dan mau nggak mau kita bisa melihatnya sendiri di sekitar kita.
Sebelum lanjut baca ke paragraf berikutnya, saya minta Anda menetralkan pikiran sejenak dan jangan mikir yang macem-macem dulu. Tulisan saya nggak seserem judulnya kok. Tapi kalau dari judulnya saja Anda sudah menganggap saya sebagai orang kafir, musyrik, atau pun ateis, lebih baik sudahi sampai di sini saja membacanya karena nggak akan ada gunanya tulisan ini kalau sudah dipandang buruk.
Oke, mari mulai. Istilah “God Is In The TV” pertama kali saya dengar dari salah satu lirik grup musik Marylin Manson, sebuah band metal yang kerap dianggap sebagai pemuja setan (ups, saya bukan mau ngomongin band ini, lho). Setelah mendengar kalimat itu, saya cuma mau berpendapat bahwa Marylin Manson, sang vokalis memang anti Tuhan. Mungkin saja dia mau menjelek-jelekan Tuhan. Tapi ternyata pendapat saya salah ketika saya dapati banyak sekali program-program di televisi yang mengangkat seputar problematika manusia. Mulai dari cari jodoh, nyari orang hilang, memata-matai pacar yang selingkuh, bahkan urusan rumah tangga pun ada di TV!
Dari fenomena-fenomena yang saya sebutkan di atas, seolah-olah televisi menjadi sarana pengaduan dan penyelesaian masalah. Padahal kita semua tahu kalau tempat mengadu yang paling ideal hanyalah kepada Tuhan YME. Seolah-olah televisi dapat menyelesaikan segala problematika hidup. Padahal masyarakat kita adalah masyarakat yang berketuhanan, bahkan sila pertama pancasila adalah “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Jadi sudah selayaknya kita memiliki kekuatan iman yang cukup untuk menyelesaikan segala problematika hidup.
Bila mereka, --orang-orang yang menyerahkan permasalahan hidupnya kepada televisi-- menganggap bahwa televisi adalah media alternatif untuk konseling (hah, yang bener!) itu sah-sah saja karena tiap orang punya hak menentukan jalan yang mereka tempuh. Tapi apa benar, penyelesaian masalah di televisi adalah cara yang benar dan elegan? Ambil contoh program yang mengungkap permasalahan rumah tangga yang ditayangkan di salah satu televisi swasta menjelang tengah malam. Setahu saya, urusan rumah tangga adalah urusannya pasangan suami-istri yang mesti diselesaikan oleh pasangan suami-istri tersebut dan tidak layak diumbar di muka umum (apalagi televisi!). Namun adakalanya pasangan suami istri tersebut tidak dapat menyelesaikannya, maka dianjurkan untuk memanggil pendamai dari pihak suami dan istri. Namun bila tidak terselesaikan juga, hendaklah menunjuk seorang imam yang adil.
Dari gambaran di atas disebutkan bahwa lingkup yang berhak mengurusi urusan rumah tangga adalah lingkup yang sangat pribadi, yaitu keluarga. Artinya ada hal-hal dalam rumah tangga yang tidak tidak layak diketahui oleh orang lain, bahkan tetangga. Kerahasiaan hubungan rumah tangga bagi suami-istri sangat penting, karena secara tidak langsung beraitan denga harga diri masing-masing pasangan. Bayangkan bila ada pasangan suami istri yang bertengkar karena sang suami tidak bisa memberikan anak, alias mandul, kemudian sang istri membuka-buka permasalahan rumah tangganya sehingga menajdi aib bagi sang suami. Atau seorang suami yang marah karena istrinya tidak mau “melayaninya” dan membawa-bawa masalah ini ke muka umum. Bayangkan betapa malunya mereka bila kekurangan yang harusnya menjadi urusan pribadi mereka , diketahui juga orang lain dan menjadi bahan gosipan orang-orang se-RT. Kalau masalah rumah tangganya jadi konsumsi orang se-RT aja malunya bukan main, bagaimana bila berangsur menjadi konsumsi nasional karena tayang di TV? Bayangkan betapa malunya pasangan suami-istri tersebut, anak-anaknya, bahkan keluarga masing-masing. Buat saya adalah hal yang sangat memalukan bila aib dalam rumah tangga sampai diketahui oleh banyak orang.
Tanpa bermaksud skeptis terhadap orang-orang yang menyerahkan masalahanya kepada televisi, sebenarnya mereka bukan sedang menyelesaikan masalahnya, melainkan sedang menjual dirinya menjadi aset televisi. Menjadi sumber uang dan komoditas. Menjadikan urusan rumah tangga sebagai komoditas orang-orang bermodal. Sungguh merugi.
Itu yang saya maksud “God Is In The TV” (Tuhan Ada di Dalam Televisi). Bagaimana persepsi manusia menjadi berlebihan terhadap televisi. Televisi yang fungsi utamanya sebagai media hiburan berubah menjadi sesembahan. Menjadi alternatif menyelesaikan masalah. Padahal manusia dibekali kecerdasan untuk menyelesaikan masalahnya sendiri, lalu untuk apa menyerahkan masalahnya kepada televisi? Manusia dibekali hati nurani dan rasa malu untuk memilah-milah mana privasi dan mana yang bukan? Lalu kenapa membuka masalah-masalah pribadi yang dampaknya malah memperburuk dan menjatuhkan harga diri mereka (kecuali mereka tidak bisa menjaga kehormatan pasangan dan keluarganya).
Saya pun iba melihat mereka. Bukan iba karena mereka sedang dirundung masalah, melainkan iba karena masalah dan urusan pribadi mereka diolah menjadi uang yang tidak membuat mereka kaya. Tapi apakah saya layak iba karena bisa jadi acara-acara seperti tadi semata hanya show biz? Hiburan yang ditayangkan berdasarkan skrip demi keuntungan?
Well, apapun itu, jangan biarkan televisi menjadi Tuhan. Jangan biarkan televisi menjadi muara peraduan berbagai masalah, karena yang ada di televisi semata-mata hanyalah keuntungan, sebab televisi adalah produk kapitalis, orang-orang bermodal yang ingin menangguk keuntungan balik.
12 Agustus 2010
Sebelum lanjut baca ke paragraf berikutnya, saya minta Anda menetralkan pikiran sejenak dan jangan mikir yang macem-macem dulu. Tulisan saya nggak seserem judulnya kok. Tapi kalau dari judulnya saja Anda sudah menganggap saya sebagai orang kafir, musyrik, atau pun ateis, lebih baik sudahi sampai di sini saja membacanya karena nggak akan ada gunanya tulisan ini kalau sudah dipandang buruk.
Oke, mari mulai. Istilah “God Is In The TV” pertama kali saya dengar dari salah satu lirik grup musik Marylin Manson, sebuah band metal yang kerap dianggap sebagai pemuja setan (ups, saya bukan mau ngomongin band ini, lho). Setelah mendengar kalimat itu, saya cuma mau berpendapat bahwa Marylin Manson, sang vokalis memang anti Tuhan. Mungkin saja dia mau menjelek-jelekan Tuhan. Tapi ternyata pendapat saya salah ketika saya dapati banyak sekali program-program di televisi yang mengangkat seputar problematika manusia. Mulai dari cari jodoh, nyari orang hilang, memata-matai pacar yang selingkuh, bahkan urusan rumah tangga pun ada di TV!
Dari fenomena-fenomena yang saya sebutkan di atas, seolah-olah televisi menjadi sarana pengaduan dan penyelesaian masalah. Padahal kita semua tahu kalau tempat mengadu yang paling ideal hanyalah kepada Tuhan YME. Seolah-olah televisi dapat menyelesaikan segala problematika hidup. Padahal masyarakat kita adalah masyarakat yang berketuhanan, bahkan sila pertama pancasila adalah “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Jadi sudah selayaknya kita memiliki kekuatan iman yang cukup untuk menyelesaikan segala problematika hidup.
Bila mereka, --orang-orang yang menyerahkan permasalahan hidupnya kepada televisi-- menganggap bahwa televisi adalah media alternatif untuk konseling (hah, yang bener!) itu sah-sah saja karena tiap orang punya hak menentukan jalan yang mereka tempuh. Tapi apa benar, penyelesaian masalah di televisi adalah cara yang benar dan elegan? Ambil contoh program yang mengungkap permasalahan rumah tangga yang ditayangkan di salah satu televisi swasta menjelang tengah malam. Setahu saya, urusan rumah tangga adalah urusannya pasangan suami-istri yang mesti diselesaikan oleh pasangan suami-istri tersebut dan tidak layak diumbar di muka umum (apalagi televisi!). Namun adakalanya pasangan suami istri tersebut tidak dapat menyelesaikannya, maka dianjurkan untuk memanggil pendamai dari pihak suami dan istri. Namun bila tidak terselesaikan juga, hendaklah menunjuk seorang imam yang adil.
Dari gambaran di atas disebutkan bahwa lingkup yang berhak mengurusi urusan rumah tangga adalah lingkup yang sangat pribadi, yaitu keluarga. Artinya ada hal-hal dalam rumah tangga yang tidak tidak layak diketahui oleh orang lain, bahkan tetangga. Kerahasiaan hubungan rumah tangga bagi suami-istri sangat penting, karena secara tidak langsung beraitan denga harga diri masing-masing pasangan. Bayangkan bila ada pasangan suami istri yang bertengkar karena sang suami tidak bisa memberikan anak, alias mandul, kemudian sang istri membuka-buka permasalahan rumah tangganya sehingga menajdi aib bagi sang suami. Atau seorang suami yang marah karena istrinya tidak mau “melayaninya” dan membawa-bawa masalah ini ke muka umum. Bayangkan betapa malunya mereka bila kekurangan yang harusnya menjadi urusan pribadi mereka , diketahui juga orang lain dan menjadi bahan gosipan orang-orang se-RT. Kalau masalah rumah tangganya jadi konsumsi orang se-RT aja malunya bukan main, bagaimana bila berangsur menjadi konsumsi nasional karena tayang di TV? Bayangkan betapa malunya pasangan suami-istri tersebut, anak-anaknya, bahkan keluarga masing-masing. Buat saya adalah hal yang sangat memalukan bila aib dalam rumah tangga sampai diketahui oleh banyak orang.
Tanpa bermaksud skeptis terhadap orang-orang yang menyerahkan masalahanya kepada televisi, sebenarnya mereka bukan sedang menyelesaikan masalahnya, melainkan sedang menjual dirinya menjadi aset televisi. Menjadi sumber uang dan komoditas. Menjadikan urusan rumah tangga sebagai komoditas orang-orang bermodal. Sungguh merugi.
Itu yang saya maksud “God Is In The TV” (Tuhan Ada di Dalam Televisi). Bagaimana persepsi manusia menjadi berlebihan terhadap televisi. Televisi yang fungsi utamanya sebagai media hiburan berubah menjadi sesembahan. Menjadi alternatif menyelesaikan masalah. Padahal manusia dibekali kecerdasan untuk menyelesaikan masalahnya sendiri, lalu untuk apa menyerahkan masalahnya kepada televisi? Manusia dibekali hati nurani dan rasa malu untuk memilah-milah mana privasi dan mana yang bukan? Lalu kenapa membuka masalah-masalah pribadi yang dampaknya malah memperburuk dan menjatuhkan harga diri mereka (kecuali mereka tidak bisa menjaga kehormatan pasangan dan keluarganya).
Saya pun iba melihat mereka. Bukan iba karena mereka sedang dirundung masalah, melainkan iba karena masalah dan urusan pribadi mereka diolah menjadi uang yang tidak membuat mereka kaya. Tapi apakah saya layak iba karena bisa jadi acara-acara seperti tadi semata hanya show biz? Hiburan yang ditayangkan berdasarkan skrip demi keuntungan?
Well, apapun itu, jangan biarkan televisi menjadi Tuhan. Jangan biarkan televisi menjadi muara peraduan berbagai masalah, karena yang ada di televisi semata-mata hanyalah keuntungan, sebab televisi adalah produk kapitalis, orang-orang bermodal yang ingin menangguk keuntungan balik.
12 Agustus 2010
Komentar
Posting Komentar