Jakarta Dalam Ilustrasi dan Degradasi Budaya yang Melahirkan Budaya

Rabu malam kemarin (03/11) hampir jam tujuh malam, saya tiba di studio Maros, sebuah komunitas budaya rupa yang markasnya ada di bilangan Fatmawati, Jakarta Selatan. Kedatangan saya ke sana adalah sebagai peserta workshop 320C yang diadakan oleh Ruang Rupa, bekerja sama dengan sembilan komunitas yang tersebar di wilayah Jakarta. Workshop yang saya ikuti adalah ilustrasi, dan Maros ditunjuk sebagai fasilitator.

Di pertemuan pertama ini, Adikara selaku pemateri mempresentasikan sejarah drawing-ilustrasi dan kota Jakarta. Pertama-tama Adikara mempresentasikan tentang kota. Bagaimana kota itu dibangun, unsur-unsur di dalamnya, seperti masyarakat, infrastruktur, sampai teknologi. Meskipun bahasannya tidak sampai mendetil, tapi setidaknya sudah memberika gambaran yang sangat fundamental tetang konsep sebuah kota. Dan satu hal yang membuat saya nggak habis pikir, kenapa dalam materinya juga membahas tentang logika dan akal sehat?Lalu apa kaitannya kota dengan drawing-ilustrasi dan budaya bahkan logika?

Sepintas memang tidak kentara hubungannya, tapi di balik itu semua ternyata terdapat kaitan yang tak dapat dipisahkan. Karena tema workshop-nya adalah bongkar Jakarta dan medianya ilustrasi, maka kami diarahkan untuk membongkar Jakarta dan diinterpretasikan melalui media ilustrasi sebagai hasil akhir karya. Pendekatan yang dilakukan pertama kali bukanlah teknik menggambar, melainkan tentang budaya Jakarta. Untuk dapat menterjemahkan Jakarta ke dalam ilustrasi, menggali tentang Jakarta adalah hal pertama yang mesti dilakukan.

Baiklah, saya akan mencoba mengingat materi yang saya dapat, kalau ada yang kurang tolong ditambahkan, dan kalau ada yang salah tolong diperbaiki.

Berdirinya Jakarta sebenarnya dimulai sejak keruntuhan kerajaan Pajajaran atas gempuran pasukan Islam dari Mataram. Ironisnya, perang yang tersebut adalah perang saudara yang bisa dibilang konyol --pasukan Mataram menyarang kerajaan Pajajaran hanya karena kerajaan Pajajaran membangun sebuah benteng sebagai hasil konsesi dengan bangsa Portugis. Sampai akhirnya VOC datang, kemudian digantikan oleh Belanda.

Awalnya, pemerintah Belanda memproyeksikan kota Jakarta untuk populasi sebanyak 800.000 jiwa. Dibangun dengan infrastruktur yang tertata sedemikian matang. Sebut saja tata ruang pada bangunan di kota tua (jaman dulunya) yang menghadap ke empat penjuru mata angin yang berbeda. Antara pusat pemerintahan, pemukiman, bisnis dan hiburan, semuanya menghadap ke arah yang berbeda, karena memang memiliki kepentingan yang berbeda pula.

Atau sistem pengairan yang diterapkan oleh orang Belanda di Jakarta (yang ternyata memang tidak bisa menyelesaikan masalah banjir). Ada kisah menarik yang baru saya tahumalam itu juga tentang nama "Batavia". Nama "Batavia" berasal dari kata "Batav", nama sebuah suku di Jerman yang mahir membangun bendungan untuk membendung kotanya yang kedudukannya lebih rendah dari permukaan air laut. Orang Belanda lalu belajar dari suku Batav dalam membangun bendungan untuk membangun negerinya. Sebagai penghormatan atas ilmu membangun bendungan dari suku Batav, Belanda pun menamakan kota Jakarta dengan nama "Batavia", sebagai kota tempat mereka membangun bendungan.

Belanda menyiapkan Jakarta (dan beberapa kota di pula Jawa) dengan pembagian yang matang dan terencana, sampai akhirnya dibuat sentralisasi politik dan ekonomi pada masa orde baru. Dari situlah awal amburadul dan semrawutnya Jakarta.

Nah, keamburadulan dan kesemrawutan Jakarta hingga kini, ternyata karena kebanyakan warganya tidak menggunakan logika dan akal sehat. Misalnya banyak orang berjualan di trotoar yang sudah jelas terpampang larangan untuk berjualan karena mengganggu ketertiban umum. Atau orang yang menyebrang di tengah jalan raya padahal sudah tersedia jembatan penyebrangan dan zebra cross. Atau juga orang yang masih SMS-an padahal sedang berkendara. Orang-orang seperti itu (setidaknya saat melakukan tindakan tersebut) telah kehilangan akal sehat dan logikanya. Sudah diberi peraturan demi keselamatan malah dilanggar. Penyimpangan akal sehat dan logika ini, suka atau tidak telah menjadi budaya orang-orang kebanyakan di Jakarta.

Yang barusan adalah kaitan antara kota, budaya dan akal sehat serta logika. Lalu bagaimana kaitannya dengan ilustrasi? Nah, yang ini nggak kalah kompliketed dan erat hubunagnnya dengan media-media di luar ilustrasi.

Banyak istilah-istilah ataupun gaya dari barat yang diadopsi tanpa proses adaptasi. Seperti kafe, gotik, atau modern. Di Barat sana, kafe menjadi ajang bertemunya para pemikir untuk mensosialisasikan pemikirannya. Tapi di sini fungsi kafe lebih tampak sebagai tempat "haha-hihi" sambil cari wi-fi-an guna membunuh waktu.

Istilah "gotik" sendiri saya agak lupa, tapi seingat saya istilah gotik di Barat adalah sebutan untuk jaman dimana orang-orang dekat dengan Tuhan (gereja). Makanya ada istilah lagu gospel, yaitu lagu puj-pujian untuk Tuhan. Tapi di sini, gotik diistilahkan sebagai dandanan serba hitam dan terkesan gelap yang dihubung-hubungkan dengan musik metal.

Istilah "modern" juga tak lepas dari pemaknaan bulat-bulat. Dalam periodisasi barat, ada istilah periode modern, yaitu masa setelah periode "age of reason" dan sebelum periode "posmodern". Lahirnya periode modern di Barat juga tak lepas dari revolusi dan respon atas suatu keadaan. Sedangkan kata "modern" di sini hanya dimaknai secara tampilan/kemasan. Modern diartikan melalui pakain, gaya hidup ataupun level konsumsi seseorang. Padahal yang dimaskud modern lebih ke pemikirannya, bukan penampakan.

Tidak ada yang salah dengan istilah dan pemikiran Barat atau mengkonsumsinya. Yang gawat adalah ketika kita mengkonsumsinya tanpa logika. Tanpa mengenal asal-usulnya, dan yang kita lakukan hanyalah mengenakan pakaian ala Barat tanpa tahu apa maksud dan tujuannya.

Penyimpangan akal sehat dan logika serta penyalahgunaan produk Barat ini ternyata berdampak terhadap perkembangan ilustrasi di Indonesia, terutama jaman sekarang. Misalnya karya-karya yang entah disengaja atau tidak, dibuat sedemikian rupa hingga menyerupai produk Barat, atau Jepang misalnya. Padahal negeri kita kaya akan warisan budaya, baik pada media visual, bertutur, musik, ataupun pertunjukan, --yang kesemuanya ada di dalam pertunjukan wayang.

Karena proses pemaknaan bulat-bulat tanpa logika dan akal sehat, dapat menyebabkan sebuah karya ilustrasi hanya sebatas gambar tanpa makna, tanpa simbol, tanpa konteks, tanpa budaya, sampai akhirnya karya tersebut tidak bisa bicara apa-apa.

Dari semua yang saya tulis di atas, mudah-mudahan dapat ditemukan kaitan antara drawing-ilustrasi, budaya dan logika. Sebenarnya masih buanyak banget yang dibahas malam itu. Waktu tiga jam ternyata tidak cukup (untuk saya). Saking banyaknya, saya merasa seperti anak ayam yang baru menetas, dan saya merasa ditampol luar-dalam oleh materi yang dibawakan oleh Adikara tersebut. Saya merasa begitu kerdil dan jauh tertinggal. Tapi bukan cuma perasaan-perasaan "kecil" yang saya dapatkan, terutama tentang kota Jakarta. Di balik keamburadulan, kesemrawutan dan degradasi budayanya, Jakarta masih menyimpan berjuta pesona budaya. Karena di Jakarta lah budaya Indonesia banyak berkumpul. Di Jakarta lah orang-orang dari berbagai suku di Indonesia, makanan, serta produk budaya lokal berkumpul. Sehingga Jakarta menjadi sebuah kota yang "tak berbudaya", dan "ketakberbudayaan" Jakarta telah menjadi budaya Jakarta. (Amet)

05 NOvember 2010

Komentar

Postingan Populer