Aku dan Anak Allah
Musim Natal telah tiba. Otomatis banyak
tayangan Natal di televisi, termasuk sajian musik. Jumat malam lalu (24/12),
ketika saya melihat sajian musik Natal di TVRI, sang penyiar menyebutkan kata
“anak-anak Allah.” Mendengar itu ingatan saya melambung ke 5 tahun lalu tentang
seorang ibu
yang bekerja satu kantor dengan saya,
ketika saya masih jadi office boy di perusahaan penyedia kebutuhan
perawatan rambut yang memiliki salon di sebelahnya (tahun 2006). Seorang yang
biasa dipanggil Bu Lila, sosok keibuan,
lemah lembut, perhatian dan kadang “bawel.” Memang, diantara semua karyawan
yang ada di kantor, Bu Lila yang paling perhatian sama saya.
Meski
begitu, ada saja orang di kantor yang tidak menyukainya dan ia juga tahu itu.
Walau bos menyediakan sebuah rumah untuk disinggahi para karyawannya yang
berasal dari luar kota, Bu Lila sesekali menginap di kantor. Biasanya ia tidur
di kursi keramas di studio (salon) sementara saya tidur di kantor. Di sebelah
Pernah suatu malam ketika ia menginap dan tertidur di kursi di ruang tunggu,
saya menyelimutinya dengan sarung dan ia mengucapkan terima kasih keesokan
harinya. Terkadang kami mengobrol ketika orang-orang sudah pulang sementara
saya membereskan kantor. Saya ingat satu malam Bu Lila menegur saya ketika
melihat sampul kaset Guns n' Roses (Appetite for Destruction) yang ada depan
saya. Ia bilang, “Kamu jangan dengerin musik kaya 'gini lho, Mat. Musik
Setan.”Mengenai hal ini saya tidak berkomentar apa-apa :).
Tanpa
disadari, saya menemukan figur seorang ibu pada diri Bu Lila dan secara alamiah
saya juga menganggapnya ibu saya. Layaknya anak pada ibunya (terutama seorang
anak yang tak memiliki ibu sejak kelas 5 SD seperti saya), saya juga ingin
diperhatikan. Bahkan saya sempat cemburu ketika ia menata rambut seorang staf
di kantor sementara sebenarnya saya juga ingin :p. Saya akui bahwa saya masih
“butuh” sosok sepertinya dan sayangnya ia dipindahtugaskan ke luar kota. Sampai
sekarang pun saya tidak pernah bertemu atau mendengar kabarnya.
Lalu,
apa hubungannya ingat Bu Lila dengan “anak-anak Tuhan” yang saya sebut di atas?
Jadi, waktu itu, saya nggak tahu Bu Lila sedang ngobrol apa dengan seorang
karyawati lainnya di salon. Waktu dia ngobrol, saya sedang beres-beres meja
rias tepat di depannya, dan tahu-tahu dia bilang, “Kalau ini baru, anak Tuhan”
sambil melemparkan pandangan ke saya. Meski tidak tahu apa maksudnya “anak
Tuhan”, saya merasa itu sebuah pujian, hingga tadi malam saya tanya ke teman
saya seorang Katolik lewat SMS. Katanya, “...Anak Alah (Tuhan) itu cuma untuk
perumpamaan mereka yang berbuat baik, karena pada dasarnya kita diciptakan
sesuai dengan gambaran Allah.” Ah! Sampai sebegitunya kah ia memuji saya? Jujur
saja, walau saya Muslim, saya sangat tersanjung dengan pujian itu. Setidaknya,
saya yakin, selain pujian itu juga sebuah doa bahwa saya memang harus menjadi
orang baik.
Begitulah
Bu Lila. Satu-satunya perempuan yang pernah saya anggap ibu di tempat saya
kerja. Sekarang setelah 5 tahun, apa dia masih kenal kalau ketemu saya? Dengan
rambut panjang, bewokan, kacamata dan tentunya masih mendengarkan “musik setan”
yang sempat dilarangnya. Ya, saya rindu sosoknya. Seorang ibu yang terlihat
makin cantik ketika tersenyum, rajin beribadah dan sering menyenandungkan
puji-pujian ketika bekerja. Bukan itu saja, satu hal yang tak bisa saya lupakan
darinya, ia tidak pernah bicara dengan nada yang tinggi dan terdengar lembut di
telinga saya. Sosok yang mengingatkan saya bahwa figur seorang ibu kapanpun dan
dimanapun akan selalu dibutuhkan.
Selamat Hari Ibu dan Selamat Hari Natal
:)
waaah perjalanan luar biasa.. ,menjadi anak allah..
BalasHapusamet sekarang dah gondrong ya.. saya juga rindu sosok lo met wkwkwkwk.. :D
kapan ngopi bareng,,, ?
aw aw aw
BalasHapuseaaa kakak
keren lho tulisannya :)
@Jun: ahahay, itu kan hanya istilah mas Jun :p. Iya, rambut panjang, bebas sih, gak ada kewajiban berambut pendek, ihihiih...
BalasHapus@Mujix: hanya mencoba jujur aja, heheh. Makasih :)