UNKNOWN NUMBER
01
Malam seperti biasanya. Tak ada
kejadian istimewa maupun hal seru lainnya yang kadang datang tak menentu. Acara
di televisi semakin tak menarik, mau nongkrong tak punya teman, bermain dengan
keponakan-keponakanku yang lucu dan menyebalkan juga sedang bosan meskipun
salah satu dari mereka memintaku menggambarkan 4 makhluk tambun ajaib bernama Tinky Winky,
Dipsy, Lala dan Po. Sampai akhirnya, ada satu panggilan masuk ke ponselku yang
tak pernah kulupakan. Bukan, bukan orang penting, tapi orang yang merasa
dirinya penting sampai-sampai ia menggunakan namanya tertera sebagai “UNKNOWN
NUMBER”
“Ya,
siapa nih?” Sapaku ramah penuh kehangatan.
“Eh,
gue ingetin ye. Janggan sekali-kali deketin cewek gue”. Salam pembuka yang
sangat tidak sopan dan tak beradab menurutku. Dari nada suaranya yang
terburu-buru serta intonasi yang digalak-galakkan, jelas pria ini orang
pecundang lemah yang berani melabrak orang lain lewat telfon dengan nomor
rahasia. Dengan penuh wibawa dan percaya diri akupun menyapanya sangat sopan
namun dingin.
“Sorry,
ini siapa ya?”
“Jangan
belagak bego deh, Lo. Gue Burton, cowoknya Herni.” Lanjut pria pemberani tersebut.
“Oh,
cowoknya Herni. Kenapa, ya?”
“Gue
‘udah baca semua SMS-SMS lo ke Herni. Sok mesra banget sih, Lo. Lo jangan
macem-macem, ye...” ancamnya serius. Saking seriusnya aku tak lagi paham tiap
kalimat yang dilontarkannya sampai sebaris kalimat terdengar begitu jelas. “Lo
jangan macem-macem, ye. Gue anak Hukum nih!” Anak Hukum? Ya, lalu? Pikirku
melanglang buana sambil membayangkan sebuah ruang persidangan yang sedang
dikuasai sepenuhnya oleh Sang Pengacara andal.
“Sorry,
maksudnya apa ya, jangan deketin Herni”. Oh, tidak. Pertanyaan bodoh terucap
begitu saja dariku yang pastinya membuat Si Anak Hukum makin berapi-api.
“Pokoknya
lo jangan deketin dia. Nggak usah sok-sok perhatian sama dia. Dia cewek gue.
Pokoknya kalo sampe gue tahu lo deketin dia lagi, awas lo!”
“Tuut...!”
Sang UNKNOWN NUMBER memutus sambungan. Aku terdiam sejenak. Berdiri mematung.
Duduk di kursi depan rumah yang persis kokoh berdiri mengangkangi comberan.
Segera
kubuka kotak masuk ponselku. Ya, pesan-pesanku dengan Herni memang terkesan
begitu akrab dan “agak” mesra. Tapi tak lebih dari itu. Hanya kalimat-kalimat
yang sesekali mengingatkan ia agar tida lupa makan dan menjaga kesehatan
mengingat pekerjaannya sebagai SPG kerap menyita waktu dan tenaganya. Sesekali
aku juga mengingatkan agar ia tak lupa beribadah dan mengerjaan tugas kuliah.
Kubaca
berkali-kali tiap pesan yang kutemukan. Kucoba menempatkan diri sebagai seorang
pria yang pacarnya dikirimi SMS seperti itu oleh teman lelakinya. Heran, aku
merasa biasa saja. Tak marah apalagi sampai memaki dan menghina. Malah aku
meras, isi pesan tersebut merupakan pesan dari seorang pria sejati terhadap perempuan
yang layak diperlakukan istimewa.
Sudahlah.
Aku tak mau pusing memikirkan ini.
***
Jarum
pendek di jam dinding sudah menyentuh angka 2. Mataku masih saja terbuka. Saat
ini hanya ada wajah Herni dalam pikirku. Kubuka pesan terakhirku dengannya. Dua
hari lalu, saat kami janjian untuk mengajarinya animasi dasar di
kost-kostannya.
Selain
masjid dan kantin, kost-annya adalah tempat yang paling sering kukunjungi di
kawasan kampus. Meski kostan-nya khusus perempuan, tapi banyak juga tamu
laki-laki yang berkunjung. Pun Herni sering mengundang beberapa teman, baik
perempuan maupun laki-laki untuk sekadar mampir, terutama saat ia sedang
senggang.
Herni
pernah bercerita padaku, ia memilik semacam ketakutan sendirian di siang hari
dan sangat butuh teman atau setidaknya ada orang di sekelilingnya. Tapi sayang,
dari sekian banyak teman laki-laki yang diajak berkunjung, kebanyakan berujung
menjadi baper dan mulai modus.
Mungkin saja
aku salah satu teman laki-laki yang paling sering berkunjung. Bukan hanya
membantunya mengerjakan tugas kuliah, tapi aku juga sering mampir hanya untuk
baca komik ataupun numpang tidur. Tidak lebih.
Lamunanku
buyar saat kulihat pendar cahaya di layar ponselku. Herni!
BERSAMBUNG
Komentar
Posting Komentar