NGOPIIN BRANDING

Berawal dari obrolan iseng malam sebelumnya (Sabtu, 7 Juli 2018) saya bertemu dengan teman lama, teman ngantir selama 2 tahun sejak 2006 - 2008 di sebuah agensi di bilangan Kelapa Gading. Jerry namanya. Pria beranak satu keturunan Batak bermarga Aritonang. Bisa dibilang dia teman Batak pertama saya, dan orang pertama yang mencekoki lagu-lagu Batak tradisional-kontemporer ala Viky Sianipar.
Kami bertemu hampir pukul 5 sore di sebuah kafe di Cikini tempat dimana ia menjadi brand consultant dan brandingnya. Sebuah kafe bernuansa “warung kopi”, tidak modern dan sangat jarang terlihat wajah generasi millenial di dalamnya, dengan beberapa bagian bangunan yang termasuk cagar budaya dan pajangan-pajangan antik.
Obrolan mengalir tenang laiknya mata air di kaki gunung. Hal yang dibicarakan pun tak jauh dari yang biasa kami bicarakan: seni, desain, komik, branding. Namun kali ini Jerry mulai bicara soal kopi, minuman yang kini jadi “santapannya” sehari-hari, hal yang dari dulu tak pernah disinggungnya. Saat langit kian gelap kami beranjak ke Taman Ismail Marzuki (TIM) untuk melihat pameran “Cerita Kecil Tentang Jakarta” di Galeri Cipta 3, yang diisi dengan berbagai lukisan dari Deskovsketcher (divisi sketsa mahasiswa DKV IKJ) dan beberapa perupa lain. Berkeliling melihat-lihat karya dengan berbagai gaya dan teknik, mengingatkan betapa kami sebenarnya masih mencintai seni, hanya saja tak memiliki waktu dan tenaga sebanyak dulu sebagai pengemar, didamping beberapa faktor yang sudah menjadi prioritas utama.
Tak lama saya dan Jerry meneruskan kegiatan nongkrong dengan makan nasi goreng sambil melanjutkan obrolan di pelataran TIM. Ada banyak hal yang kembali saya dapatkan. Bukan hanya tentang menjadi seorang bapak, namun mengenai bisnis dan strategi pemasaran, salah satunya promosi secara daring di media sosial seperti Instagram dan website.
Berkaca dari pengalamannya, dua merk yang produk utamanya sama tidak serta merta memiliki strategi pemasaran yang sama. Kedai kopi A yang mengusung konsep vintage dengan pelanggan usia dewasa tentu tidak bisa memakai gaya pemasaran kedai kopi B dengan pelanggan utama anak-anak muda. Pun dengan promosi di daring.
Baik Instagram maupun website merupakan alat semata. Hal yang tak terpenting adalah “amunisinya”, yaitu isi dari materi yang akan dipromosikan. Tidak melulu menjual produk, promosi bisa berupa foto-foto kegiatan, infografik atau sekadar trivia berkaitan dengan produk yang dipasarkan. Namun dalam menentukan materi promosi jangan lupakan siapa pemirsanya. Pada platform daring yang disebutkan di atas kita bisa memeriksa seberapa sering promosi kita dilihat, siapa saja yang melihat, baik rentang usia dan jenis kelamin serta waktu kapan mereka melihat promosi tersebut. Dari data yang didapat kita bisa menganalisa dan menentukan strategi promosi berupa isi promosi, pendekatan bahasa (baik verbal maupun visual) yang digunakan dan kapan saat terbaik untuk ditayangkan. Jadi secara garis besar, cara kita mempromosikan sebuah produk sangat erat kaitannya dengan faktor yang mengikat produk tersebut: target pasar, target pemirsa, demografis, sosiografis dan masih banyak lagi. Cara kita memperlakuakan pelanggan remaja tidaklah sama dengan memperlakukan pelanggan ibu muda dan anak-anak. Cara kita menyampaikan pesan (bahasa) dengan sasaran pelajar dan pengusaha jelas tak sama. Sebagai pemasar kita harus mampu mengenal pelanggan, apa yang mereka suka, kapan mereka belanja dan bagaimana karakter mereka dalam belanja. Meski semua tidak dapat dilakukan secara instan dan banyak penyesuaian, hal inilah yang menjadi tugas utama seorang pemasar sebagai ujung tombak sebuah perusahaan
Dari obrolan tersebut pikiran saya kembali terbuka. Setelah 3 hari mengalami blackout akibat lowongnya waktu --maklum, biasa ditekan dan dikejar-- saya seakan menemukan “jalan kembali” ‘tuk mulai melangkah. Bagaimana cara melangkah, kecepatan melangkah, kapan melangkah, dimana melangkah, bersama siapa melangkah, dan kapan harus rehat.
Bagaimanapun menyusun sebuah strategi pemasaran tak ubahnya pedekate kepada gebetan. Meski menjual produk (dan/atau jasa) yang kita hadapi adalah manusia. Sosok yang memiliki keunikannya masing-masing, yang dingin dianggap spesial, tiada duanya dan selalu dipentingkan.
Obrolan pun berakhir seiring angka 21 sudah kelebihan setengah jam. Satu hari biasa dengan banyak masukan luar biasa. Satu hari biasa yang membuka mata, bahwa masih banyak pekerjaan harus dilakukan dan diselesaikan.

Jakarta, 8 Juli 2018, di depan bioskop XXI TIM. 

Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer