YA, DIA!

Sekitar akhir triwulan pertama di tahun 2013 --setelah sepanjang 2012 mengalami pergolakan batin dengan hidup-- saya dipertemukan dengan dunia baru, yaitu "ballet", dunia yang sangat asing bagi saya. Dimana saat itu saya menggantikan seorang teman dalam membuat desain promosi sebuah pertunjukan ballet.

Selama proses itu pun saya diperkenalkan dengan orang-orang baru, salah satunya seseorang yang menjadi perhatian tersendiri dalam hidup saya. Seseorang yang hingga kini terus bersama saya dalam banyak kesempatan, meski tak melulu bersama secara kehadiran. Dia sosok enerjik, percaya diri, bersemangat, ramah dan bertanggung jawab. Hal itulah yang membuat saya --mau tidak mau-- mengguminya hingga secara sadar kekaguman itu berkembang. 

Bak sebuah roman, lembaran hari yang terlewati pun diisi peristiwa hati yang bukan hanya menyulut imaji namun juga emosi, antipasti hingga empati.

Dalam banyak pekerjaan kami selalu menjadi tandem seolah kami memang ditakdirkan bersama memikul beban dan tanggung jawab. Sudah tak terhitung berapa banyak kopi dipesan, tak tahu lagi berapa malam telah dihabiskan, tak terbayang lagi berapa perdebatan terjadi. Rasa suka yang awalnya tumbuh berpindah haluan menjadi rasa enggan. Sebagai manusia yang tak sempurna, saya sering tak memahaminya. Kontra dalam diri menjadikan keberadaannya seolah momok yang harus dihindari. 

Waktu terus bergulir. Saya pun tersadar. Memelihara perasaan tidak baik itu tidak baik. Perlahan namun pasti mencoba saya kembali mengenalnya. Lebih dalam agar semakin paham siapa dirinya. Tak mudah memang menyelam ke dalam hati seorang perempuan karena laki-laki tak tahu apa-apa mengenainya. Hanya satu yang bisa saya lakukan: mencoba menerima dia sebagai manusia,  seutuhnya. Dan seiring hati yang terbuka, saya pun melihat dia sebagai pribadi yang terus membenahi diri, dengan atau tanpa dia sadari.

Putaran bumi terhadap matahari terus berjalan dan tanpa terasa sudah putaran keenam. Hati saya semakin pulih. Amarahnya kini bukan lagi bencana. Kegusarannya tak lagi menjadi keresahan yang berkoar-koar. Sapanya kini selalu kunanti. Candanya yang lugu selalu kutunggu. Kehadirannya membuatku terus terjaga.

Ah, mungkin ini semua berlebihan. Tapi saya tidak bermain-main soal perasaan. Meski banyak yang berlalu-lalang di dalam benak, tapi tidak mudah menentukan pilihan. Seorang melankolis tidak pernah terburu-buru dan tergesa-gesa dalam membangun rasa, terlebih asa.

Meski ada satu hal. Semua percikan yang menyala kemerahan ini tidak bisa dibiarkan menjadi besar karena suatu saat bisa saja ia membakar, entah salah satu atau keduanya. Pun Tuhan telah menciptakan kami berbeda sementara hanya doa yang bisa dilantunkan untuk kesejahteraan di dunia. Biarlah pendar api asmara yang ada tetap menjadi penghangat.

Dialah satu yang kupuja, dengan kelebihan dan kekurangannya. Ya, dia. 


Foto: Irmanelly Mochtar



Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer