Table Conversation
Selepas diskusi komik (12/04) di Galeri Salihara, saya sempat berkenalan dengan seorang perempuan yang sebenarnya sudah saya lihat pada acara pembukaan “Pameran Bara Betina” (09/04), tapi tidak tahu siapa namanya. Dan ternyata dia adalah temannya Rie yang sedang menyelesaikan studi komiknya di Jepang (dia pulang ke Indonesia karena tragedi ledakan nuklir di Jepang). Ya sudah, karena dia tahu banyak tentang perkomikan di Jepang saya nanya-nanya dan obrolan pun berjalan lancar.
Ketika obrolan makin seru, Rie mengajak pindah ke kafe sambil makan dan minum. Kami bertiga mencari meja yang tidak terlalu besar agar tidak kejauhan juga kalo ngobrol, dan obrolan pun dilanjutkan. Melanjutkan obrolan pertama dengan Febby, masih seputar komik di Jepang, sampai akhirnya Rie turut serta dan obrolan berlanjut. Nggak cuma perkembangan komik di Jepang, kita juga ngomongin pengaruhnya di sini. Bagaimana komik Jepang menjadi teman sejak kecil, peran komik Jepang dalam perkembangan ngomik diri masing-msaing, sikap para penggiat komik yang, ada beberapa golongan yang (secara tidak terang-terangan) menyatakan “anti manga”, serta mempermasalahkan “apa, sih, yang disebut komik lokal dan mengapa harus anti manga?”
Kami sepakat untuk TIDAK SETUJU dengan orang-orang yang anti-manga. Manga, bagaimanapun telah mengalami pergeseran makna. Kalau awalnya kata “manga” merupakan sebutan untuk komik Jepang –seperti manhua untuk komik Hongkong/Cina atau bande desinĂ©e (bede) di Perancis–, kini manga di Indonesia lebih dimengerti sebagai sebuah aliran atau gaya gambar. Bicara tentang aliran atau gaya gambar, sama saja bicara soal selera, dan bicara soal selera itu adalah hak masing-masing individu untuk menyukainya. Sama seperti hak seseorang untuk menyukai aliran musik rock, misalnya, dangdut, jazz, atau lainnya. Dan kembali ke awal paragraf, tindakan “anti-manga” sama sekali bukan tindakan bijak, makanya saya (juga) tidak setuju. Daripada anti ataupun memusuhi, lebih baik bersikap proporsional dan berusaha menjadi teman :-D
Rie menambahkan, seharusnya kita berterima kasih kepada manga (komik Jepang), karena disadari atau tidak, kehadiran manga menggugah seseorang (terutama pembaca generasi 90-an) untuk mengenal komik, mau ngomik dan akhirnya menjadi komikus. Perkara menjadi komikus yang gambarnya manga atau tidak itu bukanlah masalah, karena itu hanyalah sebuah pilihan. Saya pun tergugah untuk ngomik dan ingin jadi komikus karena membaca komik Jepang.
Pesanan makanan dan minuman sudah datang. Obrolan pun menjalar makin liar. Tidak mempedulikan soal pro-kontra manga, kami lebih nyaman membicarakan soal “doujinsi” (entah bener atau nggak nulisnya), “yuri”, hingga “BL”. Nah, si “BL” ini yang cukup menyita perhatian saya. Seperti yang dijelaskan Febby sebelumnya, BL (boys lover) adalah sebuah genre komik di Jepang yang kontennya dewasa dan menyangkut hubungan sejenis antara laki-laki dengan laki-laki, alias gay. Genre ini sangat popoluer di Jepang, dan teryata, mayoritas pembacanya adalah perempuan dan kreatornya juga perempuan. Pasar BL sendiri cukup besar dan punya pembacanya sendiri. Makanya, ketika di Jepang ada kebijakan untuk “menghapus” BL, kontan saja menuai protes dari para pembaca, kreator, hingga para penerbit komik bergenre BL yang mencapai 11 penerbit. BL sendiri tidak hanya populer di Jepang, bahkan komik Amerika pun ada yang mem-BL-kan dua karakter jagoan mereka! Dan, di sini pun saya lihat ada beberapa komik BL :-D
Berkali-kali si Febby bilang sorri ke saya, mungkin dia merasa saya risih dengan tema BL, secara saya laki-laki dan BL menceritakan hubungan laki-laki dengan laki-laki. Ah, itu bukan masalah bagi saya. Tidak ada rasa risih sedikitpun, bahkan perbincangan ini menjadi semakin menarik. Bagi saya yang menarik bukan BL-nya, tapi fenomena bahwa konsumen dan produsen BL mayoritas adalah perempuan.
Sambil ber-BL-BL ria, tau-tau obrolan nyerempet sedikit tentang komik terbarunya Rie bersama teman-teman Seven Art Land, “101 Surviving Super Singles”, dan nggak bisa nggak, akhirnya kita ngobrolin soal perempuan. Tema perempuan untuk saya selalu menarik. Tingkah laku, sifat, karakter dan kebiasaan perempuan adalah hal yang tak akan habis dibahas. Mulai dari “bahasa”-nya perempuan yang kadang-kadang tidak dimengerti oleh laki-laki, sifat moody perempuan (apalagi kalo sedang PMS), dan betapa sulitnya bagi laki-laki untuk menebak isi hati perempuan (ups, yang ini curcol gua, hehehe...) Tapi selain itu, kami juga loncat ke masalah karakter dan kebiaasaan orang yang berbeda di tiap wilayah dan budaya dan bisa saling mempengaruhi. Dan saya juga baru tahu dari Febby, kalau upacara penaikan bendera pada hari Senin berasal dari Jepang.
Akhirnya waktu menunjukan jam setengah sembilan malam. Obrolan pun selesai karena mereka mesti pulang, begitu pun saya. Huff, obrolan yang sangat menyenangkan. Dari manga, perempuan, hingga budaya. Menambah wawasan dan memperluas perspektif baru akan sesuatu yang awalnya saya pandang dengan sempit.
Thanks, girls for such an interesting conversation, hope see U both soon and make it happen again v^^.
13 April 2011
Komentar
Posting Komentar