Cahaya Pilihan, Pengajian dan Bangsat
Sabtu malam ini (18/06), lewat jam setengah dua belas malam, saya beranjak dari kantor di Mampang Prapatan menuju rumah di Depok. Meskipun kondisi jalanan masih cukup ramai, hal ini wajar terutama pada malam Minggu. Namun hal yang tampak biasa dan wajar berubah menjadi luar biasa dan menyebalkan karena adanya rombongan sebuah pengajian.
Sejak sebelum memasuki kawasan Pasar Minggu, kepadatan jalan raya mulai terlihat dan nampak tidak biasa karena volume kendaraan lebih banyak dari biasanya. Bunyi klakson bersahutan, baik dari pengendara mobil, sepeda motor, maupun angkutan umum. Semua tak lebih karena “kemarahan” akibat kemacetan yang terjadi. Dan “parade” ini terus berlangsung hingga kawasan jalan Poltangan, tempat pengajian digelar.
Kemacetan semakin parah begitu memasuki Pasar Minggu, terutama saat memasuki terowongan yang jalannya menyempit. Setelah masuk terowongan, saya melihat beberapa mikrolet yang disesaki penumpang berbaju takwa dan kopiah putih, bukan hanya bergelantungan, mereka juga memenuhi atap mikrolet. Yang mengejutkan lagi, sebagian besar mereka adalah anak remaja yang kelihatannya masih SD atau SMP. Di bagian belakang mikrolet dipajang spanduk putih yang ditulis dengan spidol hitam bertuliskan, TEBET BERSOLAWAT, atau pada mobil yang lainnya, JUANDA-DEPOK BERSOLAWAT, dan pada beberapa bagian ada juga tulisan bahasa Arab yang bacaanya “Nurul Musthofa”, yang artinya “cahaya pilihan”.
Perjalanan berlanjut, dan semakin rusuh saja. Selain intensitas suara klakson yang makin tinggi, laju kendaraan pun semakin lambat. Bukan itu saja, beberapa jamaah muda yang saya sebut di atas juga mulai turun ke jalan, entah untuk apa. Stres melanda. Tak bisa melawan, hanya boleh bertahan. Dan saya hanya menggeleng dan menganggukkan kepala mengikuti irama klakson yang dibunyikan sebagai satu-satunya cara meredam stres dan kemarahan :)
Di sisi jalan, tepatnya di pinggir rel kereta api yang tanahnya lebih tinggi dari jalan raya, banyak sekali jamaah yang nongkrong sambil menyimak pengajian dan mondar-mandir tak tentu arah. Beberapa jamaah yang kelihatannya dari satu keluarga berjalan kaki ke arah berlawanan, bersama anak-anak mereka yang masih kecil. Di samping itu, terlihat wajah yang pucat pasi dan kelelahan dari beberapa pengendara mobil yang sempat saya tengok mukanya. Agresifitas para pengendara motor pun sangat kentara. Mereka tidak membiarkan ada ruang kosong sekecil apapun di depannya, dan tak hentinya membunyikan klakson memeritahkan kendaraan di depannya supaya segera maju.
Laju kendaraan perlahan membaik begitu mendekati pusat pengajian di seputar jalan Poltangan. Setengah jalur menuju Lenteng Agung yang dijadikan majelis, dijaga ketat oleh beberapa jamaah dan sedikit polisi serta dipagari dengan tali. Walau kendaraan mulai berjalan lancar –sekalipun terseok-seok– , beberapa pengendara masih meluapkan kekesalannya dengan membunyikan klakson berulang kali. Kontan saja para penjaga barikade marah. Mereka (penjaga barikade) meneriakkan ke para pengandara supaya tidak membunyikan klakson lagi. Teriakannya begini, “Woi,klakson, woi! Pada mau ngaji apa mau ngapain, sih!?” Lho, 'gimana sih? Yang membunyikan klakson tentu saja bukan orang yang datang untuk mengaji, melainkan mereka yang terganggu karena kemacetan ini. Dan tak lama setelah teriakan tersebut, ada salah seorang yang berteriak, “b**gsat!”. Malu saya mendengarnya, ada kata makian di tengah pengajian :(
Sambil melintasi para jemaah yang sedang mengikuti pengajian, saya mencoba untuk tetap tenang dan sesekali mencuri pandang ke arah pengajian karena penasaran, “apa yang disampaikan oleh sang ustadz?” Anehnya, sang ustadz tidak ada di situ, melainan sebuah proyektor yang menayangkan sang Ketua Majelis sedang memberikan ceramah. Rasa penasaran saya akan isi pengajian nihil, karena saya sama sekali tidak bisa mendengar apa yang disampaikan oleh sang Ketua majelis di layar proyektor. Suara bising kendaraan, klakson yang masih saja “meraung”, serta teriakan orang-orang memecahkan konsentrasi ketika menyimak tausyiah sang ustadz yang tak dapat didengar dengan baik.
Setelah cukup sabar menanti, siksaan “efek pengajian di jalanan” pun berakhir. Laju sepeda motor saya kembali kencang, dan tak ada lagi klakson kemarahan. Kemacetan malam itu menyisakan kesan yang sangat mendalam sekaligus banyak pertanyaan. Saya sangat terkesan, mengapa orang mau berbondong-bondong datang ke pengajian seperti itu, padahal tidak semuanya mengikuti pengajian dengan sungguh-sungguh, apalagi melihat cukup banyak anak-anak dan ibu-ibu yang mengajak serta anaknya yang masih kecil untuk ikut pengajian. Saya terkesan bagaimana para jamaah dengan kompaknya bersatu demi tertibnya pengajian tersebut (tidak berlaku untuk ketertiban di luar pengajian). Tapi di luar itu, saya tak habis pikir, mengapa mereka memilih mengadakan pengajian di tengah jalan raya yang jelas-jelas menganggu ketertiban umum? Bukankah mengadakannya di tanah lapang yang luas atau masjid yang besar adalah pilihan (lebih) bijak? Lalu, kemana aparat kepolisian yang bertugas menertibkan lalu lintas? Dan pertanyaan terbesar adalah, apakah mereka, para petinggi majelis sadar akan situasi ini? Kesemrawutan dan ketidaktertiban berlalu lintas yang terjadi ketika jamaahnya mengadakan pengajin yang menyebabkan banyak pihak (terutama pengendara) merasa tidak nyaman dan merasa terganggu? Sampai dimanakah batas toleransi yang mereka miliki? Sadarkah mereka kalau kemaetan menimbulkan banyak kerugian materil maupun imateril bagi orang lain (berapa cc bahan bakar danw aktu terbuang, berapa banyak orang yang merasa kesal dan marah).Mengingat banyak orang yang mengeluhkan setiap diadakannya pengajian yang selalu mengganggu ketertiban umum?
Terkait dengan kejadian semalam, saya teringat sebuah hadits Rasulullah tentang tetangga* yang berbunyi:
عَنْ أبي شُرَيْحٍ ـ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ ـ أنَّ النَّبِيَّ ـ صلى الله عليه وسلم ـ قالَ : ” وَاللهِ لا يُؤْمِنُ . وَاللهِ لا يُؤْمِنُ . وَاللهِ لا يُؤْمِنُ . قِيلَ : مَنْ يَا رَسُوْلَ اللهِ ؟ قالَ : الَّذِي لا يَأمَنُ
جَارُهُ بَوَائِقُهُ ” .رواه البخاري
Dari Abu Syuraih r.a. bahwa Nabi Muhammad saw. bersabda, “Demi Allah, seseorang tidak beriman; demi Allah, seseorang tidak beriman; demi Allah, seseorang tidak beriman.” Ada yang bertanya, “Siapa itu, Ya Rasulallah?” Jawab Nabi, “Yaitu orang yang tetangganya tidak aman dari gangguannya.” (Bukhari)
Semoga saja kejadian-kejadian ini tidak berlarut-larut terjadi dan berubah menjadi budaya. Selain berdampak langsung terhadap orang lain, ini juga berdampak terhadap pencitraan majelis-majelis sejenis mereka, yang membawa misi keagamaan. Bukankah agama tercipta untuk menjadikan hidup supaya lebih harmonis? (Kalau malah kekacauan yang ditimbulkan, berarti misi keagamaan mereka gagal, dong?)
***
Kutipan hadits di atas diambil dari :http://erzal.wordpress.com/category/5-hadits-tentang-tetangga/
(*Meskipun secara tidak langsung para jamaah majelis tersebut bukan tetangga bagi para pengendara, tapi konsep bertetangga erat kaitannya dengan kehidupan sosial, dan mereka melakuan aktifitas di dalam lingkungan sosial juga. Dan Tulisan ini saya buat semata sebagai respon atas apa yang saya lihat, dengar dan rasakan. Dan saya percaya, saya bukanlah satu-satunya orang yang merasakan hal serupa)
Sejak sebelum memasuki kawasan Pasar Minggu, kepadatan jalan raya mulai terlihat dan nampak tidak biasa karena volume kendaraan lebih banyak dari biasanya. Bunyi klakson bersahutan, baik dari pengendara mobil, sepeda motor, maupun angkutan umum. Semua tak lebih karena “kemarahan” akibat kemacetan yang terjadi. Dan “parade” ini terus berlangsung hingga kawasan jalan Poltangan, tempat pengajian digelar.
Kemacetan semakin parah begitu memasuki Pasar Minggu, terutama saat memasuki terowongan yang jalannya menyempit. Setelah masuk terowongan, saya melihat beberapa mikrolet yang disesaki penumpang berbaju takwa dan kopiah putih, bukan hanya bergelantungan, mereka juga memenuhi atap mikrolet. Yang mengejutkan lagi, sebagian besar mereka adalah anak remaja yang kelihatannya masih SD atau SMP. Di bagian belakang mikrolet dipajang spanduk putih yang ditulis dengan spidol hitam bertuliskan, TEBET BERSOLAWAT, atau pada mobil yang lainnya, JUANDA-DEPOK BERSOLAWAT, dan pada beberapa bagian ada juga tulisan bahasa Arab yang bacaanya “Nurul Musthofa”, yang artinya “cahaya pilihan”.
Perjalanan berlanjut, dan semakin rusuh saja. Selain intensitas suara klakson yang makin tinggi, laju kendaraan pun semakin lambat. Bukan itu saja, beberapa jamaah muda yang saya sebut di atas juga mulai turun ke jalan, entah untuk apa. Stres melanda. Tak bisa melawan, hanya boleh bertahan. Dan saya hanya menggeleng dan menganggukkan kepala mengikuti irama klakson yang dibunyikan sebagai satu-satunya cara meredam stres dan kemarahan :)
Di sisi jalan, tepatnya di pinggir rel kereta api yang tanahnya lebih tinggi dari jalan raya, banyak sekali jamaah yang nongkrong sambil menyimak pengajian dan mondar-mandir tak tentu arah. Beberapa jamaah yang kelihatannya dari satu keluarga berjalan kaki ke arah berlawanan, bersama anak-anak mereka yang masih kecil. Di samping itu, terlihat wajah yang pucat pasi dan kelelahan dari beberapa pengendara mobil yang sempat saya tengok mukanya. Agresifitas para pengendara motor pun sangat kentara. Mereka tidak membiarkan ada ruang kosong sekecil apapun di depannya, dan tak hentinya membunyikan klakson memeritahkan kendaraan di depannya supaya segera maju.
Laju kendaraan perlahan membaik begitu mendekati pusat pengajian di seputar jalan Poltangan. Setengah jalur menuju Lenteng Agung yang dijadikan majelis, dijaga ketat oleh beberapa jamaah dan sedikit polisi serta dipagari dengan tali. Walau kendaraan mulai berjalan lancar –sekalipun terseok-seok– , beberapa pengendara masih meluapkan kekesalannya dengan membunyikan klakson berulang kali. Kontan saja para penjaga barikade marah. Mereka (penjaga barikade) meneriakkan ke para pengandara supaya tidak membunyikan klakson lagi. Teriakannya begini, “Woi,klakson, woi! Pada mau ngaji apa mau ngapain, sih!?” Lho, 'gimana sih? Yang membunyikan klakson tentu saja bukan orang yang datang untuk mengaji, melainkan mereka yang terganggu karena kemacetan ini. Dan tak lama setelah teriakan tersebut, ada salah seorang yang berteriak, “b**gsat!”. Malu saya mendengarnya, ada kata makian di tengah pengajian :(
Sambil melintasi para jemaah yang sedang mengikuti pengajian, saya mencoba untuk tetap tenang dan sesekali mencuri pandang ke arah pengajian karena penasaran, “apa yang disampaikan oleh sang ustadz?” Anehnya, sang ustadz tidak ada di situ, melainan sebuah proyektor yang menayangkan sang Ketua Majelis sedang memberikan ceramah. Rasa penasaran saya akan isi pengajian nihil, karena saya sama sekali tidak bisa mendengar apa yang disampaikan oleh sang Ketua majelis di layar proyektor. Suara bising kendaraan, klakson yang masih saja “meraung”, serta teriakan orang-orang memecahkan konsentrasi ketika menyimak tausyiah sang ustadz yang tak dapat didengar dengan baik.
Setelah cukup sabar menanti, siksaan “efek pengajian di jalanan” pun berakhir. Laju sepeda motor saya kembali kencang, dan tak ada lagi klakson kemarahan. Kemacetan malam itu menyisakan kesan yang sangat mendalam sekaligus banyak pertanyaan. Saya sangat terkesan, mengapa orang mau berbondong-bondong datang ke pengajian seperti itu, padahal tidak semuanya mengikuti pengajian dengan sungguh-sungguh, apalagi melihat cukup banyak anak-anak dan ibu-ibu yang mengajak serta anaknya yang masih kecil untuk ikut pengajian. Saya terkesan bagaimana para jamaah dengan kompaknya bersatu demi tertibnya pengajian tersebut (tidak berlaku untuk ketertiban di luar pengajian). Tapi di luar itu, saya tak habis pikir, mengapa mereka memilih mengadakan pengajian di tengah jalan raya yang jelas-jelas menganggu ketertiban umum? Bukankah mengadakannya di tanah lapang yang luas atau masjid yang besar adalah pilihan (lebih) bijak? Lalu, kemana aparat kepolisian yang bertugas menertibkan lalu lintas? Dan pertanyaan terbesar adalah, apakah mereka, para petinggi majelis sadar akan situasi ini? Kesemrawutan dan ketidaktertiban berlalu lintas yang terjadi ketika jamaahnya mengadakan pengajin yang menyebabkan banyak pihak (terutama pengendara) merasa tidak nyaman dan merasa terganggu? Sampai dimanakah batas toleransi yang mereka miliki? Sadarkah mereka kalau kemaetan menimbulkan banyak kerugian materil maupun imateril bagi orang lain (berapa cc bahan bakar danw aktu terbuang, berapa banyak orang yang merasa kesal dan marah).Mengingat banyak orang yang mengeluhkan setiap diadakannya pengajian yang selalu mengganggu ketertiban umum?
Terkait dengan kejadian semalam, saya teringat sebuah hadits Rasulullah tentang tetangga* yang berbunyi:
عَنْ أبي شُرَيْحٍ ـ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ ـ أنَّ النَّبِيَّ ـ صلى الله عليه وسلم ـ قالَ : ” وَاللهِ لا يُؤْمِنُ . وَاللهِ لا يُؤْمِنُ . وَاللهِ لا يُؤْمِنُ . قِيلَ : مَنْ يَا رَسُوْلَ اللهِ ؟ قالَ : الَّذِي لا يَأمَنُ
جَارُهُ بَوَائِقُهُ ” .رواه البخاري
Dari Abu Syuraih r.a. bahwa Nabi Muhammad saw. bersabda, “Demi Allah, seseorang tidak beriman; demi Allah, seseorang tidak beriman; demi Allah, seseorang tidak beriman.” Ada yang bertanya, “Siapa itu, Ya Rasulallah?” Jawab Nabi, “Yaitu orang yang tetangganya tidak aman dari gangguannya.” (Bukhari)
Semoga saja kejadian-kejadian ini tidak berlarut-larut terjadi dan berubah menjadi budaya. Selain berdampak langsung terhadap orang lain, ini juga berdampak terhadap pencitraan majelis-majelis sejenis mereka, yang membawa misi keagamaan. Bukankah agama tercipta untuk menjadikan hidup supaya lebih harmonis? (Kalau malah kekacauan yang ditimbulkan, berarti misi keagamaan mereka gagal, dong?)
***
Kutipan hadits di atas diambil dari :http://erzal.wordpress.com/category/5-hadits-tentang-tetangga/
(*Meskipun secara tidak langsung para jamaah majelis tersebut bukan tetangga bagi para pengendara, tapi konsep bertetangga erat kaitannya dengan kehidupan sosial, dan mereka melakuan aktifitas di dalam lingkungan sosial juga. Dan Tulisan ini saya buat semata sebagai respon atas apa yang saya lihat, dengar dan rasakan. Dan saya percaya, saya bukanlah satu-satunya orang yang merasakan hal serupa)
Komentar
Posting Komentar