Dosa Supir Angkot ; Ketika Bekerja Bukan Lagi Melayani
Tadi malam lewat jam sepuluh ketika saya melanjukan sepeda motor, dan saat itu sedang melintasi sub way yang melewati Ps. Minggu arah Depok. Ketika jalanan menanjak saya lihat angkutan umum 04 (jurusan Depok Ps. Minggu) berhenti di pinggir jalan. Mungkin mogok pikir saya, dan ini hal biasa untuk dilihat. Namun apa yang saya lihat beberapa meter ke depan tidak biasa. Ada 3 orang perempuan berjalan kaki ke arah luar persis ketika jalanan menanjak, tanpa trotoar, diselingi kendaraan lain yang melaj dengan kecepatan tinggi. Dapat dipastikan mereka adalah korban dari mogoknya angkutan umum tersebut. Dalam benak saya hanya ada satu pemikiran, bahwa supir angkot itu benar-benar tak bertanggung jawab!
Eits,tunggu dulu. Jangan menyimpulkan sebelum tahu duduk permasalahannya. Siapa tahu 3 perempuan itu bukan penumpang angkot tersebut? Atau, siapa tahu mesin angkot tersebut benar-benar mati sehingga risiko tabrakan cukup besar dan itu membahayakan 3 perempuan yang ada di dalamnya, sehingga mereka mesti keluar dan berjalan kaki lalu mencari angkutan umum lainnya? Ya, saya memang tidak tahu duduk permasalahannya dan tidak bijak menghakimi si supir angkot sebagai "pihak tak bertanggung jawab".
Terlepas dari itu semua, kebiasaan menurunkan penumpang oleh pihak (supir) angkutan umum sudah sangat lumrah dan tidak aneh. Dan yang paling menyebalkan adalah memindahkan penumpang ke angkutan umum yang sudah penuh, sehingga penumpang yang tadinya duduk mesti berdiri, padahal sudah bayar! Selain kerugian secara imateril (tentu, penumpang kehilangan haknya untuk dilayani), secara tak langsung kerugian materil juga ada disitu. Berapa banyak waktu yang terbuang hanya karena supir dan kernet bernegosiasi dengan angkutan umum yang dilimphakan penumpangnya? Atau, kalo lagi apes, berapa waktu habis sia-sia untuk menunggu angkutan baru? Disamping itu, kondisi emosional penumpang juga terganggu karena merasa kesal, yang akhirnya dapat menyebabkan stres kalau dipupuk terlalu banyak. Lalu, karena waktu terbuang, bisa saja ada busines meeting yang batal, ujian yang gagal karena telat masuk, atau janji bertemu yang diundur karena si penumpang mesti menunggu angkutan baru?
Itu baru sebagian kecil efek dari kebiasaan jelek supir angkutan umum. Kerugian serupa juga dapat terjadi ketika angkutan umum terlalu lama ngetem. Lebih parah, karena mengakibatkan macet dan makin banyak orang yang waktunya terbuang hanya karena perbuatan supir angkutan umum. Kalau ditanya mengapa bisa begitu, mungkin si supir akan bilang bahwa alasannya demi setoran (baca: uang).
Oke, kita tinggalin dulu kebiasaan buruk si (para) supir angkot yang suka nurunin penumpang seenaknya atau ngetem terlalu lama. Kita coba teliti lebih jauh akar permasalahannya. Saya bilang di atas kalau alasan utama kebiasaan buruk tersebut adalah uang. Ya, uang, akar permasalahan nomor satu bagi kehidupan manusia. Siapapun setuju kalau orang hidup butuh uang, dan uang itu harus dicari. Dan banyak orang menghalalkan berbagai cara demi mendapatkan uang. Ada yang korupsi, 'menyikut' teman kantor, menggelapkan dana, hingga merampok dan banyak lainnya. Perbuatan seperti itu dalam jangka pendek memang menguntungkan, tapi ada kerugian jangka panjang menanti disana. Selain kerugian bagi diri sendiri, kerugian bagi orang lain tentunya. Contoh kecilnya supir angkot yang kelamaan ngetem. Bolehlah dia menunngu angkotnya penuh supaya dapat bayaran full dari penumpang. Tapi berapa menit waktu yang dia korbankan? Padahal kalau dia ngetem seperlunya dan langsung jalan, bisa jadi dia mendapatkan beberapa penumpang di tengah jalan, yang sebenarnya sama saja jumlah setoran yang dia dapatkan dengan mengetem. Bahkan, siapa tahu jumlah penumpang yang ditemukan di tengah jalan lebih banyak dan setoran yang ia dapatkan juga lebih banyak ketimbang mesti ngetem. Siapa tahu?
Tapi, susah juga mengubah kebiasaan ngetem atau menaikturunkan penumpang seenaknya --karena itu sudah jadi budaya dalam dunia perangkotan umum disini. Apalgai ketika bekerja semata-mata hanya untuk mencari uang dan tidak ada lagi "jiwa melayani". Memang, logisnya bekerja adalah mencari uang, tapi kalau boleh jujur, uang hanyalah efek samping dari apa yang telah kita kerjakan. Contoh gampangnya seorang supir ojek yang tidak akan mendapatkan uang kalau ia tidak mampu memberikan pelayanan ojeknya. Lalu bagaimana dengan orang yang suka 'menyikut'? Tentu saja ia akan kena 'sikutan' juga, entah dari mana. Tidak sekarang, mungkin besok, lusa, atau hari nanti, dan ada karma yang bisa menimpa orang-orang di dekatnya, bahkan keluarganya.
Ya, hakikat dari bekerja adalah melayani. Karena ketika hati ini ikhlas memberikan pelayanan, uang pun tak segan-segan menghampiri. Karena ada perpanjangan tangan Tuhan dalam setiap pelayanan yang diberikan. Dan ketika sudah menyerahkan segalanya kepada Tuhan, hidup akan manjadi tenang sehingga uang pun tak jadi masalah, karena sudah dijamin oleh Tuhan. Silahkan, percaya atau tidak:)
Eits,tunggu dulu. Jangan menyimpulkan sebelum tahu duduk permasalahannya. Siapa tahu 3 perempuan itu bukan penumpang angkot tersebut? Atau, siapa tahu mesin angkot tersebut benar-benar mati sehingga risiko tabrakan cukup besar dan itu membahayakan 3 perempuan yang ada di dalamnya, sehingga mereka mesti keluar dan berjalan kaki lalu mencari angkutan umum lainnya? Ya, saya memang tidak tahu duduk permasalahannya dan tidak bijak menghakimi si supir angkot sebagai "pihak tak bertanggung jawab".
Terlepas dari itu semua, kebiasaan menurunkan penumpang oleh pihak (supir) angkutan umum sudah sangat lumrah dan tidak aneh. Dan yang paling menyebalkan adalah memindahkan penumpang ke angkutan umum yang sudah penuh, sehingga penumpang yang tadinya duduk mesti berdiri, padahal sudah bayar! Selain kerugian secara imateril (tentu, penumpang kehilangan haknya untuk dilayani), secara tak langsung kerugian materil juga ada disitu. Berapa banyak waktu yang terbuang hanya karena supir dan kernet bernegosiasi dengan angkutan umum yang dilimphakan penumpangnya? Atau, kalo lagi apes, berapa waktu habis sia-sia untuk menunggu angkutan baru? Disamping itu, kondisi emosional penumpang juga terganggu karena merasa kesal, yang akhirnya dapat menyebabkan stres kalau dipupuk terlalu banyak. Lalu, karena waktu terbuang, bisa saja ada busines meeting yang batal, ujian yang gagal karena telat masuk, atau janji bertemu yang diundur karena si penumpang mesti menunggu angkutan baru?
Itu baru sebagian kecil efek dari kebiasaan jelek supir angkutan umum. Kerugian serupa juga dapat terjadi ketika angkutan umum terlalu lama ngetem. Lebih parah, karena mengakibatkan macet dan makin banyak orang yang waktunya terbuang hanya karena perbuatan supir angkutan umum. Kalau ditanya mengapa bisa begitu, mungkin si supir akan bilang bahwa alasannya demi setoran (baca: uang).
Oke, kita tinggalin dulu kebiasaan buruk si (para) supir angkot yang suka nurunin penumpang seenaknya atau ngetem terlalu lama. Kita coba teliti lebih jauh akar permasalahannya. Saya bilang di atas kalau alasan utama kebiasaan buruk tersebut adalah uang. Ya, uang, akar permasalahan nomor satu bagi kehidupan manusia. Siapapun setuju kalau orang hidup butuh uang, dan uang itu harus dicari. Dan banyak orang menghalalkan berbagai cara demi mendapatkan uang. Ada yang korupsi, 'menyikut' teman kantor, menggelapkan dana, hingga merampok dan banyak lainnya. Perbuatan seperti itu dalam jangka pendek memang menguntungkan, tapi ada kerugian jangka panjang menanti disana. Selain kerugian bagi diri sendiri, kerugian bagi orang lain tentunya. Contoh kecilnya supir angkot yang kelamaan ngetem. Bolehlah dia menunngu angkotnya penuh supaya dapat bayaran full dari penumpang. Tapi berapa menit waktu yang dia korbankan? Padahal kalau dia ngetem seperlunya dan langsung jalan, bisa jadi dia mendapatkan beberapa penumpang di tengah jalan, yang sebenarnya sama saja jumlah setoran yang dia dapatkan dengan mengetem. Bahkan, siapa tahu jumlah penumpang yang ditemukan di tengah jalan lebih banyak dan setoran yang ia dapatkan juga lebih banyak ketimbang mesti ngetem. Siapa tahu?
Tapi, susah juga mengubah kebiasaan ngetem atau menaikturunkan penumpang seenaknya --karena itu sudah jadi budaya dalam dunia perangkotan umum disini. Apalgai ketika bekerja semata-mata hanya untuk mencari uang dan tidak ada lagi "jiwa melayani". Memang, logisnya bekerja adalah mencari uang, tapi kalau boleh jujur, uang hanyalah efek samping dari apa yang telah kita kerjakan. Contoh gampangnya seorang supir ojek yang tidak akan mendapatkan uang kalau ia tidak mampu memberikan pelayanan ojeknya. Lalu bagaimana dengan orang yang suka 'menyikut'? Tentu saja ia akan kena 'sikutan' juga, entah dari mana. Tidak sekarang, mungkin besok, lusa, atau hari nanti, dan ada karma yang bisa menimpa orang-orang di dekatnya, bahkan keluarganya.
Ya, hakikat dari bekerja adalah melayani. Karena ketika hati ini ikhlas memberikan pelayanan, uang pun tak segan-segan menghampiri. Karena ada perpanjangan tangan Tuhan dalam setiap pelayanan yang diberikan. Dan ketika sudah menyerahkan segalanya kepada Tuhan, hidup akan manjadi tenang sehingga uang pun tak jadi masalah, karena sudah dijamin oleh Tuhan. Silahkan, percaya atau tidak:)
ahh you're such a good writer ternyata! suka sekali bahasanya, diambil dr hal yg (kelihatannya) simple tp maknanya dalem.. keep the good work,Met! :)
BalasHapusAku tipe orang melankolis dan verbal. Di satu sisi punya banyak pikiran, tapi di sisi lain tidak punya cukup "keberanian" untuk bersuara lantang. Menulis (atau ngomik) jadi salah satu media bagiku untuk berekspresi :)
BalasHapusSaya suka yang simpel, karena jaman sekarang semuanya makin ribet dan semrawut, hehehe.
Makasih ya udah mampir, saya akan nulis terus, kok :)
Kebetulan aku ngerti bahasa Inggris, jadi aku pengin kasih input untuk description blog kamu "Contains about what Amet thinks, feels, and something to share..."
BalasHapusKata sambung 'and' menghubungkan dua atau lebih item setara (misalnya dua kata seperti 'big and tall' atau dua frasa seperti "my daughter and his son" ataupun dua klausa/kalimat seperti 'He palyed the guitar and I sang the song'.
Disamping itu, kata atau frasa yang dihubungkan oleh 'and' haruslah dari kata yang sejenis. Dalam "Contains about what Amet thinks, feels, and something to share..." kata 'think' adalah kata kerja, begitu pula dengan kata 'feel' namun tidak begitu halnya dengan kata 'something' yang merupakan kata benda. Di sisi lain, think dan feel adalah sebuah kata manakala something to share adalah frasa. Oleh yang demikian maka ungkapan "Contains about what Amet thinks, feels, and something to share..." salah dari sisi struktur.
Yang benar adalah "Contains about something (that) Amet thinks, feels, and share..."
Semoga bermanfaat dan mohon maaf kalau kurang berkenan