Cinta Menahun Padanya

Kenapa gue ngasih judul yang roman-romannya cinta padahal sebenarnya gue mau nulis tentang kopi? Ya, kopi sudah menjadi bagian dari cinta gue, setidaknya 2 tahun belakangan ini walau gue udah suka ngopi sejak jaman SMA, kira-kira 10 tahun lalu. Saat itu, layaknya remaja yang suka nongkrong, kopi tuh cuma jadi minuman untuk nongkrong, dan kopi yang dipilih apalagi kalau bukan jenis kopi instant ala warung seperti Kapal Api, ABC Susu atau Indocafe Coffeemix. Selain murah-meriah, dapetinnya gampang dan cara penyajiannya cukup diseduh dengan air panas.

Tapi gaya ngopi seperti itu mulai berubah sejak gue gabung sama komunitas komik Akademi Samali. Anak-anak Aksam (Akademi Samali) adalah "kopikus" --minjem instilahnya Beng Rahadian di salah satu jurnalnya--, dan kebiasaan ngopi mereka jelas lebih berpengalaman dari gue. Dari mereka gue kenal terminologi dalam dunia perkopian: arabika, robusta, roasting, vietnam drip, dll. Intinya, pengetahun kopi gue nambah! (Kayaknya kebanyakan basa-basi, gue). Baiklah, gw akan mulai cerita.

Seperti kebanyakan orang, gue mulai ngopi dengan gula. Hingga akhirnya gue mengurangi takaran gula tatkala gue menemukan cita rasa kopi yang sebenarnya lewat rasa pahitnya. Dan sekarang gue udah ngopi tanpa gula (kecuali kalau dibuatkan kopi yang sudah bergula), lalu gue bisa merasakan betapa nikmatnya hal itu. Dengan kopi pahit, gue menemukan banyak falsafah. Dengan kopi pahit, gue menemukan banyak makna dan analogi dalam hidup, dan gue pribadi mengibaratkan kopi itu seperti "perempuan", dan hidup itu bagai secangkir kopi.

***

Gue mencintai perempuan, karena gue laki-laki. Rasa cinta yang gue miliki terhadap perempuan memang sangat primitif, kebutuhan makhluk hidup akan sosok lawan jenis-nya. Ketika gue suka atau jatuh cinta sama perempuan, jantung ini berdebar-debar. Dan demi seorang perempuan pun gue rela terjaga sepanjang malam. Perempuan juga bikin gue sulit tidur, namun perempuan lah yang membuat gue merasa tenang dan ditemani. Segala hal tentang perempuan yang gue sebut, juga sama seperti kopi. Kopi bikin jantung berdebar-debar, terjaga sepanjang malam, jadi teman saat lembur atau nongkrong (ni hanya pengandaian, lho, dan tidak mengurangi rasa hormat gue sama perempuan).

Bukan hanya perempuan, kopi juga seperti "sebuah kehidupan." Gue pernah sekali ngebayangin, ada apa dalam secangkir kopi? Dari cerita2 yang gue denger, ada proses yang sangat panjang hingga secangkir kopi tersaji. Beda ketinggian tanah, lokasi hingga sinar matahari mempengaruhi biji kopi yang akan dihasilkan. Proses pencucian kemudian pengeringan juga mempengaruhi kadar asam yang tertinggal, dan ujung-ujungnya mempengaruh cita rasa kopi. Bahkan cara me-roasting yang berbeda-beda akan menghasilkan kematangan biji kopi yang berbeda. Bukan itu saja, proses penyajiannya yang beragam turut memberikan cita rasa berbeda pula. Suhu air, jenis air hingga dengan alat apa dan siapa yang membuatnya tentu menghasilkan rasa yang berbeda-beda. Ternyata sangat kompleks prosesnya, persis seperti hidup manusia!

Dari kompleksitas tersebut gue jadi bisa menghargai kopi. Ternyata tidak ada hal yang sederhana. Ada usaha yang mesti dikerjakan dengan sepenuh hati dan enggak asal-asalan, seperti hidup. Itulah yang membuatku mencintai kopi, rasa cinta yang sebenarnya sudah ada hampir belasan tahun lalu.

Dengan secangkir kopi gue lebih menghargai hidup. Layaknya ngopi, dalam menjalani hidup juga ada proses yang membutuhkan penanganan dan trik berbeda di tiap langkahnya. Beda cara beda hasil. Ada makna hidup dalam secangkri kopi.

Selain makna hidup, kopi juga kental akan unsur lokal. Mungkin kalau gue sempet akan gue tulis sepengetahuan gue mengenai kopi dan nilai lokal. Selamat ngopi! :)



Komentar

Postingan Populer