Pernikahan dan Mental

Sabtu lalu (15/9) saya menghadiri pernikahan paklik saya yang seumuran dengan saya. Dan seminggu sebelumya saya baru ingat kalau teman saya yang kira-kira nggak jauh umurnya juga melangsungkan pernikahannya. Tiba-tiba saya kepikiran, kapan saya nikah?

Pernikahan. Satu kata itu sekali-kali muncul dalam benak saya. Sebuah kata yang menyenangkan bila didengar, tapi bisa jadi "mengerikan" ketika membayangkannya. Berbeda dengan pacaran, menikah berarti melakukan kesepakatan "hidup-mati" dengan seseorang dan bukan saja menikahkan 2 kepala, namun juga 2 keluarga! Menikah juga tidak serta merta suka sama suka dan punya penghasilan lalu "grabag-grubug" ijab kabul dan resmi menjadi suami-istri.

Menikah berarti mempersatukan perbedaan yang ada dan menyelaraskan persamaan yang dimiliki masing-masing pasangan. Menikah berarti regenerasi, melanjutkan keturunan dan menjadikan keturunan yang lebih baik demi masa depan dan peradaban (beuuuhhh, berat). Menikah berarti tumbuh, karena dengan hidup bersama tentu akan banyak perubahan yang terjadi.

Selain kesiapan secara ekonomi, kesiapan mental menjadi hal yang sangat krusial. Butuh kematangan dalam memutuskan. Apakah sudah yakin bahwa saya sudah siap menikah? Apakah saya yakin dengan pasangan saya? Apakah saya yakin bisa bertanggung jawab dan menafkahi pasangan saya ke depannya bila suatu hari saya tidak punya pekerjaan? Apakah saya sudah siap menjadi pemimpin di dalam rumah tangga ? Dan yang tak kalah penting, apakah saya siap memiliki anak? Pertanyaan-pertanyaan tersebut suka malu-malu muncul dan menggoda di pikiran saya :D

Saya akui kalau saya belum siap menikah. Selain belum tahu mau menikah dengan siapa #eeaaa (curpet, curhat nyerempet), saya juga belum siap mengorbankan idealisme masa muda saya (muda, dong, baru 25 :3). Saya tidak mau mengorbankan idealisme atau istri saya nantinya. Dan saya tidak mau pernikahan menjadi alasan saya tidak lagi berkarya dan memberontak. Saya tida mau pernikahan membuat saya terlena dan lupa untuk melihat keluar sambil tetap berjuang. Tapi saya percaya, selama ada keyakinan saya dapat mengharmoniskan antara idealisme dan keluarga.

Beberapa teman dari komunitas juga banyak yang pasangannya sama-sama "pejuang". Bahkan mereka sama-sama berjuang walau ada yang datang dari ranah juang berbeda. Saya juga yakin bahwa jodoh saya kelak adalah partner dan seorang "pejuang". Bukan hanya partner dalam rumah tangga, tapi juga partner dalam hal lainnya, termasuk memperjuangkan idealisme. Keyakinan saya pun diperkuat dengan sebuah ayat (saya lupa Al-Quran atau hadits) yang bilang kalau seseorang akan mendapatkan jodoh dari kalangannya sendiri. Berarti jodoh (pasangan) yang seimbang.

So, meski dari banyak segi saya belum siap menikah, saya percaya kalau saya akan memiliki pasangan dan keluarga yang gak kalah "aneh"-nya dari saya, dan tetap rock & roll. Amin

Komentar

Postingan Populer