Ren

"Ren". Begitu aku memanggilnya. Sebenarnya tidak benar-benar "memanggil" secara harfiah, karena selama ini kami hanya berkomunikasi lewat SMS, chatting atau pun surel. Jalan tiga tahun lalu aku mengenalnya. Awalnya aku hanya iseng melihat akun Multiply-nya yang entah darimana asalnya kutemukan.

Jujur saja, awalnya aku mencoba berkenalan dengannya karena melihat foto profilnya yang, ya, katakanlah selain manis juga lucu. Tapi ada hal lain selain manis dan lucu yang terlihat di foto profilnya. Aku menemukan sosok teman sangat baik, yang meskipun hanya beberapa kali kudengar suaranya, belum pernah bertemu ataupun membuat janji-janji muluk.

Pertemanan kami berjalan biasa saja, laiknya hubungan yang dilakukan "hanya" melali sosial media. Aku tak banyak mengenal atau tahu siapa dirinya. Kalaupun ada, yang kutahu dia saat itu kuliah di salah satu universitas Kristen terkenal di Surabaya jurusan Jurnalistik. Ya, ketertarikannya memang pada dunia tulis-menulis selain ia juga tertarik dengan pendidikan, anak-anak dan, namanya perempuan, tertarik juga dengan hal-hal berbau fesyen.

Tahun berjalan, entah sejak kapan kami jadi makin intens berkomunikasi lewat dunia maya. Beberapa kali aku pernah menelfonnya ketika ia sedang menjalani kegiatan pelayanan masyarakat dari kampusnya. Ow, tak kusangka, kupikir aksen bicaranya medok seperti orang Jawa, ternyata aksennya malah terdengar seperti bukan orang daerah. Hm, maksudku, tak bedanya dengan gaya bicara orang-orang Jakarta pendatang.

Usut punya usut, di Surabaya ia memang pendatang. Ia berasal dari Muara Bungo, Jambi. Sebagai China peranakan campuran Melayu, ia merasa menjadi minoritas baik di daerah asalnya, Bungo ataupun kota tempatnya kuliah, Surabaya. Ia juga pernah menceritakan betapa sebagai keturunan Tionghoa ia sering menemukan perlakuakn tidak adil dibandingkan penduduk asli. Namun 'keminoritasan'nya tak mengurungkanku untuk tetap berteman dengannya. Justru aku mengetahui dan mendengar banyak cerita menarik darinya.

Ketika kami chatting atau berpesan singkat ria tak ada hal spesifik yang dibicarakan. Bisa saja obrola dimulai dengan membahas anak-anak autis yang sebenarnya cerdas, berlajut ke perilaku hedonis anak-anak muda nan materialistas, kemudian beralih ke persoalan perempuan yang di manapun sering diperlakukan sebagai manusia nomor dua dan obrolan mermuara pada pertanyaan, "Mengapa Tuhan begini?", "Di mana sebenarnya Ia berada", atau "Cuma hambaNya yang kuat diberi cobaan."

Menarik untuk ngobrol urusan Tuhan, agama dan kepercayaan dengannya. Ia suka-suka mengutip nasihat romo di gerejanya sambil kutimpali dengan omongan ustadz pada khutbah Jum'at. Sesekali ia mengirimkan SMS berupa guyonan almarhum Gusdur yang kadang aku tak mengerti apa maksdunya, hingga ia menjelaskan guyonan mengapa wartawan Kristen lebih update daripada wartawan Katolik hanya karena perbedaan salib antara Kristen dan Katolik.

Darinya aku juga baru tahu kalau penganan bacang yang berisi nasi dan dibungkus daun berbentuk prisma segitiga, merupakan makanan dari China dengan sebutan "bakchang". Dan aku juga tahu apa bedanya kue bulan dan kue keranjang, yang sama-sama menjadi sajian khas perayaan Imlek.

Pada saat emosi sedang buruk, kami sama-sama suka mengeluh di SMS. Lain kesempatan ia mengeluhkan akan tidak bergunanya seseorang hidup di dunia, aku menganalogikan, "apa gunanya Tuhan menciptakan nyamuk dan kecoa?" yang jelas-jelas tiada guna bagi manusa. Tapi ia juga menenangkankan beberapa waktu lama dengan bilang bahwa "Tuhan adalah pengadilan paling adil" sembari meyakinkanku bahwa Ia akan menunjukkan siapa yang patut menerima ganjaran.

Dan beberapa bulan belakangan, aku makin sering SMS-an dengannya. Tak pernah kuhitung memang, tapi kalau dirata-rata aku paling banyak mengirimkan SMS untuknya yang biasanya dimulai siang hari, berangsur-angsur hingga malam hari sebelum salah satu dari kami terlelap. Tak selalu hal penting apalagi rayu-merayu. Ya, bisa saja aku marayu atau menggombalinya, tapi untuk apa? Toh bisa dibilang kami sudah saling kenal dan tidak ada yang disembunyikan. Memang menjadi satu keuntungan melihat kenyataan bahwa teman-teman kami tak saling kenal. Aku bebas membicarakan siapa saja dengan, pun sebaliknya, dan kami tek pernah merasa takut salah satu cerita, informasi atau rahasia yang kami bagi akan turun ke orang lain. Kalau ia mau menceritakan tentangku ke temannya, silaka saja, aku pun bisa berbuat demikian. Tapi toh diceritakan tak ada yang saling kenal dan lagi-lagi, "untuk apa diceritakan?"

Sekarang ini ia sudah kembali ke kampungnya di Bungo. Bekerja sebagai penjaga toko milik papa dan mamanya. Sebenarnya cita-citanya bukan sebagai penjaga toko. Ia punya mimpi besar menjadi seorang penulis dan mengidolakan Pandji Pragiwaksono yang baginya inspiratif dalam membawa perubahan. Meski giat menulis dan mempublikasikan di blog, ia masih saja bingung gaya bahasa seperti apa yang cocok sebagai gaya tuliannya? Aku selalu menyarankan "pakai aja gayamu sendiri" sambil tetap memperhatikan kaidah berbahasa Idonesia yang baik dan benar. Aku hanya berharap ia segera meraih dunianya dan tetap menjadi kebanggaan keluarga.

Ren, tulisan ini masih terlalu sedikit menggambarkan tentang dirimu. Tapi aku juga sudah meu tidur. Kalau begitu besok aja ya, kita teruskan ngobrol via SMS. Ah, seandainya kamu di sini, aku akan ajak kamu mengunjungi festival-festival seni dan kreatif lainnya, supaya kamu juga nggak terlalu jenuh di rumah :)

Komentar

Postingan Populer