Kita dan Catur
Alkisah dua
pemuda sedang bermain catur di teras rumah selagi terik membakar dan minuman dingin berwarna kuning serta angin
sepoi menjadi penghibur yang menempel di tubuh mereka.
Tampak serius namun santai, permainan berjalan cukup lancar dan tidak satu
pihak pun berambisi memenangi permainan ini.
Pemuda satu
yang memainkan catur berwarna hitam menggerakkan kudanya menuju raja putih yang
posisinya “lumayan” tidak aman. Dengan santai pemuda yang memainkan catur
berwarna putih memakan kuda hitam tersebut menggunakan ratunya. Putih tertegun, tak
menyangka kudanya akan mati secepat itu.
Ketika dua
kubu sudah kehilangan sebagian besar kawannya, pemuda putih yang sekarang
giliran melangkah melontarkan kata-kata.
“Lo ngerasa
nggak, sih, kalau sebenarnya salah satu biji catur ini cerminan diri kita.”
Tangannya masih bimbang memilih biji mana yang akan dijalankan.
“Ya,
terkadang,” jawab pemuda hitam. Lalu, “Kita bisa memainkan sebuah peran, tapi
lain waktu peran kita akan berganti.”
Pemuda
puith memutuskan pion caturnya yang melangkah.
“'Tuh,”
sahut pemuda hitam. “Pion itu, yang baru aja elo jalanin, buat apa? Buat
dikorbankan?”
Pemuda
putih tersenyum kecil kemudian melanjutkan, “Orang kecil selalu jadi korban.
Secara 'ukuran' dia paling kecil. Secara otoritas, hanya boleh melangkah satu
kotak, dua kotak pada tempat dia bermula. Dan, dia hanya punya satu pilihan...”
“Maju ke
depan untuk kemudian mati. Terbuang.” Pemuda hitam memotong.
“Tapi
jangan salah,” pemuda putih membalas selaan kawannya. “Dia bisa jadi penyelamat begitu mencapai ujung wilayah kekuasaan lawannya.”
“Penyelamat?
Bukan. Dia bukan jadi penyelamat. Dia tetap menjadi korban. Sekalipun dia bisa
menghidupkan ratu setelah berhasil tiba di ujung wilayah kekuasaan musuh, dia
tetap mati dan terbuang keluar arena.
“Raja
paling diuntungkan. Meski hanya boleh melangkah satu kotak aja, semua anggota
kerajaan melindungi dia, terutama ratu. Bahkan demi keselamatan raja, ratu rela
untuk mati.”
“Ya jelas.
Siapapun boleh mati lebih dulu, asal bukan raja.” Sahut pemuda putih yang
akhirnya memutuskan bentengnya dimundurkan untuk menjadi tameng raja.
“Raja nggak
bisa kehilangan ratu, sebagai biji catur dengan 'otoritas' paling luas. Paling
nggak, raja akan mempertahankan ratu sekuat mungkin demi membela dirinya.”
Permainan
berlanjut santai meski obrolan mereka terkesan 'berat'.
“Tapi
ingat.” Kata pemuda putih yang baru saja menenggak minuman dinginnya. “Boleh 'aja raja dibela dan bebas mengorbankan siapa saja. Cuma satu hal, sekali raja
mati, semua biji catur yang tersisa nggak akan ada artinya. Kerajaannya runtuh.
Sang raja harus memulai dari awal lagi.”
Pemuda
putih memajukan menterinya dan memakan benteng hitam yang segera berhadapan
langsung dengan raja putih.
“Ya...
Tunggu 'aja, kerajaan siapa yang akan runtuh lebih dulu. Kerajaan lo, atau kerajaan
gue.” Sambut pemuda hitam yang melibas menteri putih di depan rajanya dengan
benteng.
Setengah
jam kemudian permainan selesai, kerajaan hitam keluar sebagai pemenang. Dua
pemuda tersebut melanjutkan permainan dan bertukar biji catur. Saling “bunuh”
dan menjaga “rajanya” agar kerajaannya tetap bertahan.
11 November
2012
Komentar
Posting Komentar