Mahalnya Harga Sebuah Prosedur
Senin pagi tadi (17-Mei-2010) saya mendatangi Polres Depok untuk keperluan membuat Surat Ijin Mengemudi (SIM), dengan harapan besar dimana saya akan mendapat kemudahan dalam memperoleh SIM. Kemudahan yang saya maksud bukanlah menempuh jalur “khusus” dengan cara memberi sejumlah uang kepada pejabat setempat supaya proses yang saya jalani bisa dipangkas, melainkan melewati segala prosesnya sesuai prosedur namun tetap lancar.
Setibanya disana, saya disambut tukang parkir yang langsung menanyakan keperluan saya. Begitu mendengar saya hendak membuat SIM baru, si tukang parkir langsung menawarkan bantuan “Paket Kemudahan Pembuatan SIM”. “Mau dibantu gak, mas?”, begitu katanya. Dengan terima kasih saya tolak bantuannya. Setelah memarkir motor, saya bertanya pada seorang polisi yang berjaga di dekat parkiran. Dengan senyum lebarnya polisi tersebut menyambut saya dengan sangat ramah. Layaknya seorang sales door to door yang menawarkan bubuk abate, polisi tersebut juga menawarkan bantuan “Paket Kemudahan Pembuatan SIM” dengan biaya sekitar Rp. 350.000. Secara halus saya tolak juga tawaran kemudahan polisi tersebut, dan, tebak apa? Ya, seperti saya bilang barusan, polisi tersebut tampak seperti seorang sales door to door bubuk abate yang gagal melakukan closing terhadap calon pembelinya; senyum ramahnya hilang seketika dan berlalu begitu saja meninggalkan saya.
Saya pun melanjutkan mencari ruangan tempat membuat SIM, sambil sesekali seorang polis tua menanyakan keperluan saya dan kembali menawarkan bantuan yang sama dengan si sales bubuk abate tersebut (upa, maaf, maksudnya polisi yang di parkiran tadi). Ternyata ribet juga membuat SIM sesuai prosedur. Selain prosesnya cut to cut (maksdunya dari satu tempat langsung pindah ke tempat lain), fasilitas yang tersedia di kantor kepolisian juga membuat siapapun tidak betah berada di situ; ruangan dan lorong penuh sesak dengan orang-orang, bangku dan meja yang terbatas, serta suara mikropon yang kresek-kresek. Baiklah, saya ceritakan kronologi proses pembuatan SIM saya tadi pagi.
1. Membuat Surat Keterangan Sehat
Waktu saya menanyakan dimana membuatnya, seorang polisi yang berjaga di gerbang depan memberi tahu seadanya tanpa keterangan yang jelas. Keterangan yang diberikan polisi itu malah membuat saya bingung. Lokasinya berada di deretan ruko seberang yang di depannya berdiri restoran cepat saji A&W, dan posisinya tepat berada di deretan ruko belakang.Tapi tau gak, polisi itu cuma bilang, “Di A-we”. Polisi itu gak bilang “di belakang AW ada ruko lagi nomer sekian, sekian…”, atau “di ruko belakang A-We…” atau jawaban lainnya yang setidaknya memberikan orang-orang kemudahan dalam mencari tempatnya. Entah polisi itu buta lokasi atau memang enggan memberikan jawaban yang cukup lengkap? Atau saya yang terlalu goblok untuk mencerna keterangan yang diberikan polisi?I Dunno?
Sesampainya di klinik tempat membuat surat keterangan sehat tersebut pun saya merasa aneh. Tempatnya sepi. Dan yang lebih aneh lagi ketika diperiksa oleh dokter, saya ngerasa kalau pemeriksaan tersebut hanya sebatas ritual dalam proses pembuatan SIM dan sudah satu paket dari “Paket Kemudahan Pembuatan SIM”? Dokternya memeriksa tanpa “cinta”. Yang diperiksa hanya tes mata, tapi yang lainnya tidak dites. Mungkin saja karena ini sudah satu paket dengan “Paket Kemudahan Pembuatan SIM” , jadi proses pemeriksaan dilakukan sekenanya, hanya sebagai “syarat”. Mudah-mudahan prasangka saya salah.
Proses ini menghabiskan biaya RP. 15.000 untuk pemeriksaan dan Rp. 2.000 untuk fotokopi KTP bolak-balik sebanyak 4 lembar. Total biaya Rp. 17.000.
2. Mendaftar Asuransi
Nah, yang ini rada mendingan karena ‘udah balik lagi ke kantor polisi. Hanya perlu mengisi formulir dan membayar uang sebanyak Rp. 30.000. Ada beberapa kolom yang tidak saya isi termasuk nomor resi bukti transfer bank bersangkutan dan saya tanyakan hal itu kepada petugas di loket yang kebetulan seorang perempuan paruh baya. Polwan itu memberi isyarat tidak perlu dengan tangannya. Ya, saya mengerti. Lagipula untuk apa mengisi hal remeh seperti nomor resi di formulir (kecuali ada yang menganggapnya penting).
3. Mendaftar Biaya Pembuatan SIM
Setelah manaruh formulir yang sudah diisi, saya mendaftar biaya pembuatan SIM di loket lainnya yang berjarak kurang dari sepuluh langkah. Biayanya Rp. 75.000 untuk yang baru, dan Rp. 60.000 untuk perpanjangan. Setelah nama para pendaftar selesai diproses, kemudian dipanggil untuk diberikan kartu asuransi. Ada yang menarik. Di loket ini si mbak-mbak penjaga menjual pulpen seharga Rp. 3.000 dan pensil Rp. 2.000. Kelak kedua benda ini menjadi benda paling penting walau digunakan kurang dari setengah jam.
4. Mengikuti Ujian Teori
Setelah menerima kartu asuransi dan menunggu beberapa lama, para pendaftar dipanggil untuk mengikuti ujian teori. Herannya soal ujian diisi dengan pinsil, dan pada lembar soal sudah ada beberapa kotak jawaban yang diberi tanda. Tapi yang bikin saya sebel adalah pertanyaannya. Beberapa pertanyaan menggunakan kalimat yang membingungkan dan materi-materi yang terkandung belum pernah saya dapatkan di bangku sekolah. (Terang aja banyak yang gak lulus ujian bikin SIM, materinya Cuma polisi yang punya!)
Setelah melewati proses tes ujian teori, saya dinyatakan tidak lulus karena memiliki 14 jawaban salah dari 30 pertanyaan. Padahal batas maksimal jawaban salah hanyalah 12. Saya diberi sobekan berupa tanda bukti pendaftaran ujian pembuatan SIM yang harus saya bawa dikemudian hari bila ingin membuat SIM lagi. Saya pun pulang dengan sedikit kecewa. Meskipun gagal dan harus mengulang lagi nanti, saya puas karena menjalani proses pembuatan SIM sesuai prosedur.
Dari hasil perjalanan kegagalan saya membuat SIM, saya melihat betapa budaya suap dan korup sudah sangat melekat dalam budaya kita, baik lewat jalur pencaloan ataupun “salam tempel”. Entah di kantor polisi, kantor pemerintahan, atau berbagai badan dan instansi lainnya. Suap dan korup memang memberi kemudahan, sekaligus menjadi kebiasaan yang akhirnya menjadi sebuah budaya yang mengakar. Saya memang tidak bermaksud naif karena Jumat lalu pun(14 Mei) saya mengambil STNK melalui jalur calo. Hal ini dengan terpaksa saya lakukan karena saya harus berangkat kerja. Ini alasan, bukan pembelaan.
Entah siapa yang memulainya, yang pasti aksi calo-mencalo ataupun suap berkembang menjadi sebuah bisnis ilegal. Hanya mengorbankan sejumlah uang kepada pencalo kita bisa mendapatkan apa yang kita inginkan berupa surat-surat/dokumen kewarganegaraan, kepemilikan barang, sampai hukum bisa didapatkan. Karena bisnis ini sering dijalankan dan terbukti menguntungkan kedua belah pihak, pada akhirnya bisnis ini menjadi jalur alternatif yang sering ditempuh.
Para pencalo itu dengan jeli melihat kemalasan-kemalasan kita untuk diuangkan. Bagi saya hal itu sah-sah saja sebatas sesuatu yang dicalokan bisa diwakilkan, karena posisi calo sejatinya sebagai perpanjangan tangan kita yang malas mengantri dan menjalani prosedur. Tapi bagi saya yang memalukan bila kegiatan calo-mancalo itu berlanjut sampai ke meja pejabat yang bersangkutan sehingga mengorbankan orang-orang yang sudah lebih dulu mendaftar dan menjalani prosedur. Kasihan mereka, orang-orang yang menjalankan segala sesuatu sesuai peraturan dan prosedur. Orang-orang yang sudah mengantri. Orang-orang yang mencoba untuk jujur. Tiba-tiba hak mereka mesti disunat karena ada orang-orang yang mencari keuntungan dari bisnis calo-mencalo.
Akhirnya, saya menyimpulkan bahwa prosedur itu harganya sangat mahal dan priceless! Orang beramai-ramai menghindari prosedur dengan membayar lebih. Orang ramai-ramai menjauhi prosedur karena keterbatasan mereka (termasuk ketika saya menebus STNK yang saat itu memiliki keterbatasan waktu), dan yang paling sering ditemui adalah orang ramai-ramai berusaha untuk tidak menyentuh prosedur sama sekali karena kemalasan. Dan kemalasan mereka disebabkan repotnya jalur-jalur yang mesti ditempuh.
Saya membayangkan, alangkah enaknya, kalau misalnya (ini misalnya, lo, cuma berandai-andai) instansi-instansi pemerintah menyediakan paket “langsung jadi” dalam keperluan pembuatan surat-surat atau dokumen yang dibutuhkan warga sehingga warga tidak perlu repot dioper kesana-kemari hanya untuk mendapatkan stempel atau tanda tangan pejabat bersangkutan. Intansi yang bersangkutan juga bisa menambah “ongkos jalan” yang ditarifkan secara resmi, alias bukan “bantaun” yang diberikan oleh pejabat kepada warga. Buat saya hal tersebut lebih baik daripada mesti melalui proses calo-mancalo, terlebih suap melalui “salam tempel”. Kalau ada proses “langsung jadi” seperti itu, tentu memudahkan saya. Karena saya ingin menjalani segala sesuatunya berdasarkan prosedur. Karena saya ingin melewati setiap proses, dan, yang terpenting, saya tidak tahu bagaimana caranya melakukan bisnis dengan cara “salam tempel”.
Amet I.M
18 Mei 2010
Setibanya disana, saya disambut tukang parkir yang langsung menanyakan keperluan saya. Begitu mendengar saya hendak membuat SIM baru, si tukang parkir langsung menawarkan bantuan “Paket Kemudahan Pembuatan SIM”. “Mau dibantu gak, mas?”, begitu katanya. Dengan terima kasih saya tolak bantuannya. Setelah memarkir motor, saya bertanya pada seorang polisi yang berjaga di dekat parkiran. Dengan senyum lebarnya polisi tersebut menyambut saya dengan sangat ramah. Layaknya seorang sales door to door yang menawarkan bubuk abate, polisi tersebut juga menawarkan bantuan “Paket Kemudahan Pembuatan SIM” dengan biaya sekitar Rp. 350.000. Secara halus saya tolak juga tawaran kemudahan polisi tersebut, dan, tebak apa? Ya, seperti saya bilang barusan, polisi tersebut tampak seperti seorang sales door to door bubuk abate yang gagal melakukan closing terhadap calon pembelinya; senyum ramahnya hilang seketika dan berlalu begitu saja meninggalkan saya.
Saya pun melanjutkan mencari ruangan tempat membuat SIM, sambil sesekali seorang polis tua menanyakan keperluan saya dan kembali menawarkan bantuan yang sama dengan si sales bubuk abate tersebut (upa, maaf, maksudnya polisi yang di parkiran tadi). Ternyata ribet juga membuat SIM sesuai prosedur. Selain prosesnya cut to cut (maksdunya dari satu tempat langsung pindah ke tempat lain), fasilitas yang tersedia di kantor kepolisian juga membuat siapapun tidak betah berada di situ; ruangan dan lorong penuh sesak dengan orang-orang, bangku dan meja yang terbatas, serta suara mikropon yang kresek-kresek. Baiklah, saya ceritakan kronologi proses pembuatan SIM saya tadi pagi.
1. Membuat Surat Keterangan Sehat
Waktu saya menanyakan dimana membuatnya, seorang polisi yang berjaga di gerbang depan memberi tahu seadanya tanpa keterangan yang jelas. Keterangan yang diberikan polisi itu malah membuat saya bingung. Lokasinya berada di deretan ruko seberang yang di depannya berdiri restoran cepat saji A&W, dan posisinya tepat berada di deretan ruko belakang.Tapi tau gak, polisi itu cuma bilang, “Di A-we”. Polisi itu gak bilang “di belakang AW ada ruko lagi nomer sekian, sekian…”, atau “di ruko belakang A-We…” atau jawaban lainnya yang setidaknya memberikan orang-orang kemudahan dalam mencari tempatnya. Entah polisi itu buta lokasi atau memang enggan memberikan jawaban yang cukup lengkap? Atau saya yang terlalu goblok untuk mencerna keterangan yang diberikan polisi?I Dunno?
Sesampainya di klinik tempat membuat surat keterangan sehat tersebut pun saya merasa aneh. Tempatnya sepi. Dan yang lebih aneh lagi ketika diperiksa oleh dokter, saya ngerasa kalau pemeriksaan tersebut hanya sebatas ritual dalam proses pembuatan SIM dan sudah satu paket dari “Paket Kemudahan Pembuatan SIM”? Dokternya memeriksa tanpa “cinta”. Yang diperiksa hanya tes mata, tapi yang lainnya tidak dites. Mungkin saja karena ini sudah satu paket dengan “Paket Kemudahan Pembuatan SIM” , jadi proses pemeriksaan dilakukan sekenanya, hanya sebagai “syarat”. Mudah-mudahan prasangka saya salah.
Proses ini menghabiskan biaya RP. 15.000 untuk pemeriksaan dan Rp. 2.000 untuk fotokopi KTP bolak-balik sebanyak 4 lembar. Total biaya Rp. 17.000.
2. Mendaftar Asuransi
Nah, yang ini rada mendingan karena ‘udah balik lagi ke kantor polisi. Hanya perlu mengisi formulir dan membayar uang sebanyak Rp. 30.000. Ada beberapa kolom yang tidak saya isi termasuk nomor resi bukti transfer bank bersangkutan dan saya tanyakan hal itu kepada petugas di loket yang kebetulan seorang perempuan paruh baya. Polwan itu memberi isyarat tidak perlu dengan tangannya. Ya, saya mengerti. Lagipula untuk apa mengisi hal remeh seperti nomor resi di formulir (kecuali ada yang menganggapnya penting).
3. Mendaftar Biaya Pembuatan SIM
Setelah manaruh formulir yang sudah diisi, saya mendaftar biaya pembuatan SIM di loket lainnya yang berjarak kurang dari sepuluh langkah. Biayanya Rp. 75.000 untuk yang baru, dan Rp. 60.000 untuk perpanjangan. Setelah nama para pendaftar selesai diproses, kemudian dipanggil untuk diberikan kartu asuransi. Ada yang menarik. Di loket ini si mbak-mbak penjaga menjual pulpen seharga Rp. 3.000 dan pensil Rp. 2.000. Kelak kedua benda ini menjadi benda paling penting walau digunakan kurang dari setengah jam.
4. Mengikuti Ujian Teori
Setelah menerima kartu asuransi dan menunggu beberapa lama, para pendaftar dipanggil untuk mengikuti ujian teori. Herannya soal ujian diisi dengan pinsil, dan pada lembar soal sudah ada beberapa kotak jawaban yang diberi tanda. Tapi yang bikin saya sebel adalah pertanyaannya. Beberapa pertanyaan menggunakan kalimat yang membingungkan dan materi-materi yang terkandung belum pernah saya dapatkan di bangku sekolah. (Terang aja banyak yang gak lulus ujian bikin SIM, materinya Cuma polisi yang punya!)
Setelah melewati proses tes ujian teori, saya dinyatakan tidak lulus karena memiliki 14 jawaban salah dari 30 pertanyaan. Padahal batas maksimal jawaban salah hanyalah 12. Saya diberi sobekan berupa tanda bukti pendaftaran ujian pembuatan SIM yang harus saya bawa dikemudian hari bila ingin membuat SIM lagi. Saya pun pulang dengan sedikit kecewa. Meskipun gagal dan harus mengulang lagi nanti, saya puas karena menjalani proses pembuatan SIM sesuai prosedur.
Dari hasil perjalanan kegagalan saya membuat SIM, saya melihat betapa budaya suap dan korup sudah sangat melekat dalam budaya kita, baik lewat jalur pencaloan ataupun “salam tempel”. Entah di kantor polisi, kantor pemerintahan, atau berbagai badan dan instansi lainnya. Suap dan korup memang memberi kemudahan, sekaligus menjadi kebiasaan yang akhirnya menjadi sebuah budaya yang mengakar. Saya memang tidak bermaksud naif karena Jumat lalu pun(14 Mei) saya mengambil STNK melalui jalur calo. Hal ini dengan terpaksa saya lakukan karena saya harus berangkat kerja. Ini alasan, bukan pembelaan.
Entah siapa yang memulainya, yang pasti aksi calo-mencalo ataupun suap berkembang menjadi sebuah bisnis ilegal. Hanya mengorbankan sejumlah uang kepada pencalo kita bisa mendapatkan apa yang kita inginkan berupa surat-surat/dokumen kewarganegaraan, kepemilikan barang, sampai hukum bisa didapatkan. Karena bisnis ini sering dijalankan dan terbukti menguntungkan kedua belah pihak, pada akhirnya bisnis ini menjadi jalur alternatif yang sering ditempuh.
Para pencalo itu dengan jeli melihat kemalasan-kemalasan kita untuk diuangkan. Bagi saya hal itu sah-sah saja sebatas sesuatu yang dicalokan bisa diwakilkan, karena posisi calo sejatinya sebagai perpanjangan tangan kita yang malas mengantri dan menjalani prosedur. Tapi bagi saya yang memalukan bila kegiatan calo-mancalo itu berlanjut sampai ke meja pejabat yang bersangkutan sehingga mengorbankan orang-orang yang sudah lebih dulu mendaftar dan menjalani prosedur. Kasihan mereka, orang-orang yang menjalankan segala sesuatu sesuai peraturan dan prosedur. Orang-orang yang sudah mengantri. Orang-orang yang mencoba untuk jujur. Tiba-tiba hak mereka mesti disunat karena ada orang-orang yang mencari keuntungan dari bisnis calo-mencalo.
Akhirnya, saya menyimpulkan bahwa prosedur itu harganya sangat mahal dan priceless! Orang beramai-ramai menghindari prosedur dengan membayar lebih. Orang ramai-ramai menjauhi prosedur karena keterbatasan mereka (termasuk ketika saya menebus STNK yang saat itu memiliki keterbatasan waktu), dan yang paling sering ditemui adalah orang ramai-ramai berusaha untuk tidak menyentuh prosedur sama sekali karena kemalasan. Dan kemalasan mereka disebabkan repotnya jalur-jalur yang mesti ditempuh.
Saya membayangkan, alangkah enaknya, kalau misalnya (ini misalnya, lo, cuma berandai-andai) instansi-instansi pemerintah menyediakan paket “langsung jadi” dalam keperluan pembuatan surat-surat atau dokumen yang dibutuhkan warga sehingga warga tidak perlu repot dioper kesana-kemari hanya untuk mendapatkan stempel atau tanda tangan pejabat bersangkutan. Intansi yang bersangkutan juga bisa menambah “ongkos jalan” yang ditarifkan secara resmi, alias bukan “bantaun” yang diberikan oleh pejabat kepada warga. Buat saya hal tersebut lebih baik daripada mesti melalui proses calo-mancalo, terlebih suap melalui “salam tempel”. Kalau ada proses “langsung jadi” seperti itu, tentu memudahkan saya. Karena saya ingin menjalani segala sesuatunya berdasarkan prosedur. Karena saya ingin melewati setiap proses, dan, yang terpenting, saya tidak tahu bagaimana caranya melakukan bisnis dengan cara “salam tempel”.
Amet I.M
18 Mei 2010
Komentar
Posting Komentar