Komik dan Bauran Pemasaran

Alkisah, ada dua orang komikus kawakan yang sudah puluhan tahun malang-melintanang di scene komik Indonesia, sama-sama mengeluhkan kalau komik mereka tidak bisa dinikmati oleh banyak orang (begitupun dengan pembaca yang merasa kesulitan mendapatkan komik dari komikus idamannya). Komikus pertama mengeluhkan komiknya tidak bisa dinikmati banyak orang karena harga jualnya terlalu tinggi, sedangkan komikus satunya lagi merasa kalau distribusi komiknya kurang bagus. Padahal mereka berdua adalah komikus ternama yang punya penggemar dan pasar sendiri dan kemampuan ngomiknya tidak diragukan lagi.

Meski kedua komikus tersebut punya pasar dan pembaca tersendiri, jangan lupa bahwa komik (dalam konteks tulisan ini) termasuk ke dalam barang industri. Dan dalam “siklus hidupnya” sebagai barang industri, kita tidak bisa lepas dari apa yang namanya bauran pemasaran atau marketing mix yang melingkupi 4P: product (produk), price (harga), place (tempat/distribusi), promotion (promosi). Nah, keempat “P” inilah yang memegang peranan penting dalam pemasaran suatu barang, yang, sayangnya tidak bisa berdiri sendiri. Mari kita bedah bersama (yuk, bantu) apa itu 4P dan hubungannya dengan komik.

Product (product)
pemasaran yang baik harus ditunjang dengan produk yang baik juga. Dan produk yang baik harus jelas siapa target market dan target audiencenya. Dalam hal ini komik, kita juga harus tahu, komik yang kita buat siapa sasaran pembacanya: berapa umurnya, latar belakang, pendidikan, psikografi hingga sosiografi dan daya belinya. Setelah semuanya jelas dan komik selesai dibuta, kita tinggal melakukan strategi dalam penentuan harga (price).

Price (harga)
Dalam penentuan harga jual, selain tergantung pada biaya produksi, juga tak boleh dilupakan siapa segmen pembacanya, karena harus disesuaikan dengan daya beli dan tingkat kebutuhan akan komik. Misalnya, penentuan harga jual komik untuk pembaca remaja dengan pembaca berumur (jadul) ataupun kolektor jelas tidak bisa disamakan. Selain kebutuhan komiknya berbeda, daya belinya juga berbeda.

Bagi remaja yang notabene belum berpenghasilan (apalagi anak kost =3), keputusan untuk membeli komik menjadi pertimbangan yang harus dipikirkan masak-masak. Apakah komik ini memang layak dimiliki, harganya bersahabat dengan kantong, dan kadang terpikir, apakah ada untungnya membeli komik tersebut? Mungkin bagi mereka uang makan siang atau bensin sepeda motor lebih penting.

Berbeda dengan pembaca komik remaja, pembaca komik jadul adalah mereka yang sekarang sudah mapan dalam pemenuhan kebutuhan pokoknya, sehingga membeli komik tidak perlu pertimbangan yang sangat matang. Selain itu, membeli komik-komik jadul (cetak ulang atau komik baru) sama dengan nostalgia, entah nostalgia dengan cerita-cerita lama yang sempat mereka nikmati, atau sekadar bernostalgia dengan karya komikus idamannya. Berapapun harga komik tersebut akan dijabanin.

Atau ada lagi satu jenis pembaca yang 'udah gak mikirin duit lagi. Merekalah para kolektor.

Place (tempat/distribusi)
Oke, anggaplah kita sudah memproduksi sebuah komik yang bagus, dengan pasar dan harga yang saling dukung. Lalu, akan dikemanakan produk (komik) kita? Dijual, tentu saja. Tapi dijual di mana? Melalui siapa?

Dalam hal ini, peran distributor dan toko buku menjadi sangat penting. Karena distributorlah yang menyalurkan komik ke toko buku, dan toko bukulah yang menjadi perantara antara komik dengan pembelinya.

Namun, memakai jasa distributor yang mengakibatkan komik dipajang di toko buku, tidak serta merta komik dilirik, karena mesti bersaing dengan komik-komik lainnya.

Di toko buku, tentunya ada aturan-aturan (tertulis maupun tidak) yang punya pengaruh terhadap “eksistensi” komik yang kita jual.

Setiap buku yang dipajang memiliki masa pajangnya sendiri, dan lama tidaknya masa pajang itu tergantung pada seberapa besar penjualan yang dihasilkan oleh buku tersebut. Dan, kalau dalam jangka waktu tertentu buku yang dijual kirang dilirik pembeli, besar kemungkinan tuh buku akan mangkir ke rak buku paling bawah, atau bisa jadi dipindahkan ke “ruangan” lain karena buku-buku baru menanti untuk ngeksis juga.

Kemudian, diluar penjualan, sebuah toko buku sudah pasti akan mengutamakan “bukunya sendiri” ketimbang buku orang lain. Selain diberikan ruangan lebih besar, megah dan eksklusif, promosinya pun lebih diutamakan. Ibarat orang tua, lebih baik membela anak sendiri daripada ngebela anak orang lain.

Walaupun memakai jasa distributor dan menjualnya di toko buku menjadikan komik lebih terjangkau kepada pembaca umum (bukan komunitas), cara ini bukan cara yang murah karena mesti membagi keuntungan. Disamping toko buku, ada satu tempat lagi yang cukup menjanjikan dan potensial karena berada pada satu lingkup yang sama (lingkungan komik): komunitas. Di beberapa komunitas komik juga memiliki lini usaha penjualan komik.

Menitip jual di komunitas menjadi salah satu alternatif cara menjual yang lebih murah sekaligus lebih potensial. Murah karena tidak seribet dan semahal di toko buku, potensial karena orang-orang yang berada di lingkup komunitas biasanya lebih loyal dan menaruh perhatian lebih terhadap komik. Terlebih, disamping memberikan harga jual lebih murah dibandingkan di toko buku, dengan menitip jual di komunitas besar kemungkinan untuk mudah terkoneksi ataupun bertemu dengan para pembaca sehingga tercipta kedekatan dengan pembaca.

Bukan hanya harga jual yang lebih murah dan pasar potensial, menitip jual di komunitas juga punya peluang besar supaya komik dikenal oleh pembaca umum. Mengapa begitu? Ada sebagian komunitas komik yang sering membuka stand pada bazar-bazar atau event-event tertentu yang seringkali diadakan di mal. Ini membuka peluang agar komik bisa dilihat pembaca umum. Selain memberikan benefit terhadap komikus karena komiknya tampil, komunitas juga kerap diuntungkan karena mendapatkan pemasukan lebih denga berjualan di mal.

Promotion (promosi)
Untuk komik, jenis promosi yang paling umum dilakukan adalah melalui lini BTL (below the line) seperti majalah, koran, atau malah di dalam komik itu sendiri. Tapi (bagi saya), promosi seperti itu tidak bisa terlalu diharapkan. mengingat biaya promosi yang tidak sedikit.

Tapi makin kesini, jenis dan media promosi makin beragam, seperti: 1)Promosi dari mulut ke mulut; 2)Promosi d iinternet melaui situs jejaring sosial atau portal-portal web; 3)Pameran dan 4)Peluncuran buku beserta diskusi.

Dibandingkan jenis promosi lini BTW, keempat jenis dan media promosi di atas lebih jelas sasarannya karena lebih segmented. Seseorang akan menceritakan tentang komik-komik terbaru atau mereference komik hanya kepada kenalannya yang suka komik. Promosi di internet dilakukan di situs-situs yang memang menjadikan komik sebagai basisnya, begitupun friendship di situs jejaring sosial akan saling mempromosikan kepada teman-teman penggemar komik. Orang-orang yang datang ke pameran komik adalah mereka yang punya kepedulian terhadap komik. Dan peluncuran buku yang disertai diskusi selalu dihadiri oleh orang-orang yang suka komik. Intinya, orang-orang yang terkena paparan keempat jenis promosi ini adalah orang-orang yang dengan sengaja atau sukarela menginginkan atau butuh dengan promosi tersebut.


Kembali merujuk pada paragraf ke-2 tulisan ini (ayo, scroll-up lagi, hehe), keempat P ini tidak berdiri sendiri dan mesti dijalankan dengan selaras-harmonis-sinergis. Artinya, strategi yang satu harus didukung dengan strategi lainnya. Ibarat kaki meja, keempatnya harus tegak berdiri agar tidak pincang. Dan pihak-pihak yang harus menjalankannya bukan hanya komikus saja, melainkan penerbit, editor, bahkan pembaca juga berperan besar dalam berjalan tidaknya 4P tersebut. Komikus, selain harus pandai bertutur-visual, juga mesti peduli terhadap pembaca dan calon pembacanya. Tanggap selalu mencoba untuk mengenali pembaca dan pasar. Penerbit, selain menentukan kebijakan harga, strategi promosi hingga distribusi, juga selalu melakukan terobosan-terobosan serta memberikan value terhadap produk (komik) yang dikeluarkannya, sedangkan editor harus tetap kompeten dan strict dalam menjembatani antara 'selera komikus' dengan 'selera pasar', dan pembaca (ini bukan kewajiban mereka, sih) kalau ingin kehipuan komikusnya sejahtera dan bisa tetap ngomik, jangan ragu untuk membeli karyanya.

Akhirnya sampai disini dulu “kicauan” singkat mengenai komik dan bauran pemasarannya. Semoga besok-besok tidak ditemukan lagi komikus yang kecewa karena komiknya tidak sampai ke tangan konsumen, dan tidak ada pembaca lagi yang kebingungan kemana mencari komik-komik lokal.

Salam Komik
17 Maret 2011

Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer