Aku Rindu Disaat Kau Pergi
'Drt, drttt... Drt, drtt... Sudah lima kali hape-ku bergetar sejak sejam yang lalu; dari orang yang sama. Keruan saja langsung kusilent hape-ku.Kalau Sekali lagi ia menghubungiku, akan kuangkat dan kuomeli dia untuk pertama dan terakhir kali dan aku berjanji nggak akan menerima panggilan lagi darinya. Akan langsung kuhapus SMS yang masuk darinya.
Kulanjutkan lagi pekerjaanku yang menumpuk. Sudah sejam lagi berlalu, dan ternyata ia tak menghubungiku. Syukurlah. Aku sudah bosan dengan semua perhatiannya yang menurutku berlebihan. Tiap pagi selalu mengirimi SMS “selamat bekerja”, “semangat selalu”, atau “keep smiling”. Belum lagi kalau waktunya lunch, sederet SMS yang isinya seperti susu nutrisi untuk anak balita yang susah makan. Dikiranya aku anak kecil, apa, yang tiap kali mesti dinasihati sebelum melakukan sesuatu. Memangnya siapa dia? Bapakku bukan, kakak juga bukan, apalagi pacar. Mau sok-sokan mengatur hidupku.
“Ver” panggil Mbak Tita. “Yuk, kita lunch. 'Udah jam setengah satu, nih!”
O, ow. Keasyikan kerja sampai lupa waktu. Yeah, aku harus segera makan siang dan kembali lagi karena banyak deadline.
“'Bentar, Mbak Ita! Aku save dulu!”
Kami pun beranjak ke Warung Padang sebelah kantor, dan pikiranku langsung melambung ke isi perut cumi betina yang sedang hamil. Yaa..yy! Kangen pengen makan telor cumi bakar!
Setelah mengantri lumayan panjang, akhirnya makan.
“Ver, kamu lagi stres ya?” tanya Mbak Tita sambil memasukkan ongokan daun singkong ke dalam mulutnya yang lebar.
“Iya lah, mbak. Dua bulan pulang malem melulu. Tapi dateng mesti pagi dan ggak boleh kesiangan.” balasku sewot sembari memotong perut cumi bakar yang kenyal dengan sendok.
“Lagian, badan kamu juga kurusan. Padahal aku pengen, lo, punya badan kurus. 'Udah nyoba segala cara, tapi gak pernah berhasil. Eh, kamu masuk sini lima bulan malah gampang kurus. Haha...”
“Ye... Emangnya enak, apa, kurus karena stres?”
“Ya 'udah, sabar aja. Tunggu kabar Mbak Sinta aja. Setelah melahirkan dia bakal lanjut atau nggak”
“Hah!” aku melonjak kaget. “Masak, sih, dia abis cuti nggak mau lanjut? Serius, mbak?”
“Siapa tau”
“Bisa mati, aku. Kalo beneran dia nggak ada aku bakal lembur tiap malem.” karena kesal aku masukan sesendok munjung nasi ke mulut.
“Aha, segitunya. Nyantai, aja, nggak usah mikir yang kejauhan. Nih, aku tambahin dagingnya, kebanyakan aku. Lumayan, perbaikan gizi, hehehe”
“Makasih, Mbak Tita yang baik. Semoga Tuhan memberkati, hehe...” balasku sambil cengangas-cengenges.
Acar makan siang kami lanjutkan dengan penuh semangat.
Kembali ke kantor, dan kudapati dua SMS baru yang isinya:
“hey.. Semangt, smngt, yg bnyk krjaan! Jgn Lp makan, yaa...=3”
Satu lagi:
“sory, sory, bkn'a mw ngtr2.cm pgn ingtin aja. Gk ush bls...”
Sambil mendesah bete aku bergumam dalam hati, “Ye... ge-er. Siapa juga yang mau mbales. Dasar freak!”
Kembali kulanjutkan pekerjaan. Puluhan aplikasi kartu kredit sudah mengantri untuk diaudit. Yah, pekerjaan semacam ini memang tidak berat, tapi membosankan. Namun ada yang lebih membosankan; menerima SMS dan telpon dari Rahmat. Kalau 'udah ngobrol lagaknya 'udah kaya orang penting bagiku. Sok dibuat manis nada bicaranya, dan kadang suka ngomongin hal-hal yang nggak ada urusannya sama dia. Pernah suatu kali ia mengingatkanku jangan pulang terlalu malam waktu aku hang-out sama teman-teman kampus. Dan ia kaget begitu kuberitahu kalau aku pulang hang-out jam setengah tiga pagi.
“suka suka akuNya dng mo pLng jem bRp?” Begitu balasan SMS-ku ketika ia mengirimiku SMS yang terkesan sok berurusan; “jm sgtu? Sekalian ja plgnya siang!”. Huff... Sungguh tidak nyaman menerima SMS seperti itu dari orang yang bukan siapa-siapa.
Malam, jam 9. Aku baru pulang kantor, sementara yang tersinya hanya satpam yang jaga di gerbang luar.
“Malem, Pak Sapto. Duluan, ya...” pamitku kepada satpam berumur 41 tahun itu.
“Iya, Neng Vera. Hati-hati, ya...”
Tak berapa lama aku sudah menempelkan pantatku di atas kursi plastik berwarna oranye. Tumben, tidak terlalu ramai. Selain itu jalanan di luar kulihat agak sepi. Tidak seperti biasanya. Tak apa, lah. Bagus, biar cepat sampai rumah.
Kuambil hape dari tasku dan kunyalakan radio. Kebetulan radio kesukaanku sedang memutar program curhat dan temanya kali ini tentang persahabatan.
“Oke, Mir. Mungkin temen lo itu bener-bener sayang sama lo. Terima aja” kata si penyiar satu yang bersuara renyah. “'Kan asik, tuh, ada orang yang perhatian. Siapa tau kalo lo butuh apa-apa tinggal panggil” sambung penyiar satunya lagi dengan suara agak cempreng.
“Tapi kan, gue jengah juga, dikit-dikit dia SMS. Dikit-dikit dia telpon. Cowok gue aja nggak gitu-gitu banget” balas si penelepon.
“Ya' udh, Mir. Lo terima aja, dalam artian bukan terima kalo ternyata dia beneran suka sama lo. Maksud gue, terima aja kalau ada seseorang yang perhatian sama lo. Masalah lo udah punya pacar atau nggak itu nggak ada hubungannya sama perhatian temen lo. Atau kalo lo emang ngerasa nggak nyaman sama SMS-SMS dan telpon dari temen lo, lo bicarain aja baik-baik” lanjut si penyiar bersuara renyah.
“Iya. Pokoknya jangan bikin dia gantung, deh. Kalian 'kan mulai berteman secara baik-baik, kalo ada apa-apa juga harus baik-baik. Biarpun dia bukan siapa-siapa lo, pokoknya tetep jaga and ngertiin perasaan dia” tambah si penyiar cempreng, yang, menurutku aneh. Untuk apa mencoba memahami perasaan seorang yang bukan siapa-siapa.
Tak lama diputarlah lagu Kepompong dari Sindentosca.
“...mungkin karena ku yang bertindak kejauhan. Namun semua karena ku sayang...”
Entah mengapa, mendengar lagu ini aku teringat Rahmat, cowok sok perhatian itu.
Setengah sebelas malam. Kucoba untuk memejamkan mata namun tak urung terpejam. Iseng ah, nge-twitt dulu :
“Rempong, bo', udh Lmbur 2 blan, bonus gk ada, pala pusing, lagi jd gk bisa tdur, @Cumigoreng wiken kongkow lg yukz!”
Baru beberapa menit twitter-an, ada yang ,mention:
@Veraconcetta jalan pulang ya? Asik gak, lemburnya? Hehehe...semangattt!!!
Oh, no! Dia lagi! Selalu datang kapan dan di mana saja. Tanpa pikir panjang langsung ku log-out twitter-ku. Gila tuh, orang. Bisa-bisanya tahu kalau aku memang sedang dalam perjalanan. Lama-lama aku merasa tidak nyaman dan dibuntuti.
Aku jadi serba salah. Kalau kutanggapi, dia tak'kan berhenti. Tapi kalau dicuekin, dia malah nggak bisa diam. Kalau aku baik, dia ke geer-an. Dan kalau dijutekin dia asik berapologi.
Kuketik sesuatu. Bingung. Apakah si Rahmat harus kuberi "pelajaran" atau tidak. Atau, lebih baik cuekin aja. Gapapa juga, sih, dicuekin. Lha wong aku bukan siapa-siapanya dia. Tapi, kalau dibiarkan, dia bisa terus-terusan begini. Entah sampai kapan SMS darinya terus mengalir.
Lama aku terdiam menghadapi layar hape-ku. Kata-kata apa yang harus kutuliskan tanpa menyakiti hatinya. Bagaimana caranya menyampaikan maksudku tanpa melukainya, karena aku tak pandai berkata-kata. Hingga...'Drrtt...' Sial! Baru mau SMS dia sudah lebih dahulu mengirim. Oh, bukan. Bukan dari Rahmat. Ternyata SMS dari Mbak Tita.
“ver, maaf ngedadak, bsok aku gk masuk, mamaku masuk rumkit. Kerjaan kamu hadnle dulu ya ”
What!!!
Makin tak bisa terpejam mataku dibuatnya. Kenapa hari-hariku makin tak karuan. Pekerjaan menumpuk ditambah numpuk lagi, ditambahn SMS gak penting dari orang yang nggak kalah nggak pentingnya.
Ya sudah, daripada gila segera kupejamkan mataku. Nggak peduli akan ada apa lagi, pokoknya harus tidur, karena besok masih lembur!
***
Tumben hari ini aku bangun tanpa rasa kantuk sedikitpun walau sebenarnya lebih senang untuk tidur daripada berangkat ke kantor. Dan seperti biasa, pagi ini sudah ada satu, ups, ternyata dua pesan masuk! Entah apa isi SMS "Selamat Pagi" dari Rahmat kali ini. Pesan pertama dari Linda yang ngasih tahu kalau hari ini dia pulang dari Surabaya, dan yang kedua:
“Untk mendptkan 5 hal kebaikan dunia akhrat melalui...Berkah Rejeki...SHolat malam...”
Lho, tumben. Isi SMS-nya berbau reliji begini. Oh, sial. Ternyata dari Rahma, teman kuliah dulu yang juga anak Rohis. Pantas saja.
***
Di atas kursi oranye yang melelahkan karena harus menunggu selama satu setengah jam beserta macet dan hamparan keringat pagi serta makian para kernet bis yang tak mau mengalah ketika bis-nya diserobot, melintas tumpukan berkas dan data di atas kepalaku. Belum sampai kantor tapi aku sudah memikirkannya. Yah, hari ini aku harus mengerjakan tugas-tugas yang menumpuk ditambah tugas dua orang yang tak bisa ditinggalkan. Ya Tuhan, jangan biarkan semangatku luntur.
Tak lama, 'Drrtt...'.
“bolh saja kamu marah ktika mntari tak bersinar. Boleh saja km kesal krn lngit mnjadi mndung. Tpi ttplh trsnyum, dlm keadaan apapn. Krn snyummu lbh berchaya dri sinar mntri pagi dan lbh crh di langit biru... Met bekerja :) ”
Dia lagi. Tak pernah lupa mengirimiku SMS. Ingin langsung kuhapus saja SMS-SMS darinya. Satu persatu tombol menuju “delete” kutelusuri, namun jemariku terhenti. Kubalik lagi halaman barusan dan membacanya sekali lagi. Kubaca perlahan dan kuulangi dalam hati:
“...Tapi tetaplah tersenyum dalam keadaan apapun...” kuucapkan berkali-kali kalimat itu secara perlahan. Kutatap dalam-dalam isi SMS itu, dan, kumasukan kembali hape-ku.
Setelah aku turun dari bis aku mencoba mengulangi kalimat tadi supaya etap tersenyum. Tersenyum? Ah, betapa mudahnya tersenyum, namun sangat berat untuk kulakukan.
Aku memasuki kantor dengan langkah pelan. Orang-orang menyapaku dan aku membalas sekenanya. Kuseduh kopi susu dan langsung bekerja.
***
Tanpa terasa sudah hampir jam 5 sore, dan masih ada pekerjaan menunggu. Hari ini rasanya sepi sekali. Selain semua orang juga sibuk dengan pekerjaannya, nggak ada Mbak Tita yang biasanya 'rame' dan selalu melontarkan joke-joke jayus dan nggak penting namun menghibur. Bosan juga. Tak ada teman bicara.
Kutengok hape-ku. Sepanjang hari ini tidak bereaski sedikitpun, seolah kehilangan sinyal dan membuatku terputus dari dunia luar. Ada harap-harap cemas dalam hati ini melihatnya.
***
Hari ini kembali aku pulang jam 9 malam, dan Pak Sapto menyapaku seperti biasanya.
Aku duduk mematung di halte sambil menunggu Si Oranye berkursi plastik datang. Jalanan lengang dan sepi, lebih sepi dari kemarin malam. Oh, ada apa, ini. Mengapa semakin malam semakin sepi? Tapi biarlah, aku bisa menghapus rasa sepi itu dengan memutar radio.
Deretan lagu cinta mengisi telingaku. Dari yang romantis sampai mellow abis. Baru lagu ketiga, akhirnya Si Oranye datang.
Masih sesepi malam kemarin dan radio masih berputar di telingaku. Bolak-balik kutengok hape-ku. Tak ada pesan, apalagi panggilan masuk. Dan kesunyian di hape-ku terus berlanjut hingga aku tiba di rumah dan menenggelamkan wajahku di atas bantal. Jadi pengen ikutan sunyi. Malam ini nggak mau nge-twitt atau update status dulu. Palingan Si Rahmat langsung ikutan nimbrung.
***
Sudah seminggu Mbak Tita nggak masuk karena harus bergantian dengan kakaknya menjaga mamanya di rumah sakit. Akh... semakin hari aku merasakan bete yang berkepanjangan. Berbagai cara kulakukan untuk melepaskan rasa suntuk. Sayang beribu sayang, tak ada yang bisa dilakukan. Satupun temanku tak ada yang bisa diajak nongkrong. Pacarku sibuk dengan urusan klien dan tak bisa menemani nonton, sedangkan seisi rumahku serasa datar-datar saja.
Di tengah kekosongan hati dan pikiran aku teringat Rahmat. Sial! Kenapa aku jadi ingat dia. Bukankah kemarin-kemarin aku berusaha menghindarinya dengan nyuekin segala macam panggilan di telpon? Padahal aku sudah merasa tenang juga ketika berhasil membuatnya vakum selama seminggu ini?
SMS, jangan? Telpon, jangan? Bimbang. Antara sungkan, malu dan jaim menjadi satu.
***
Sebulan telah berlalu, dan aku sama sekali tak mendengar kabar atau apapun dari Rahmat. Tak ada SMS, telpon, atau komen di twitter dan facebook.
Kebetulan kerjaan tidak terlalu padat, dan aku menyempatkan diri membuka facebook lewat hape. Akun-nya Rahmat masih aktif sampai sejam lalu. Kumasuki halaman profilnya, kucek satu-satu karena penasaran dan tidak ada sesuatu yang membuatku ingin mencari tahu,hingga akhirnya ia membuat status baru:
“Boleh saja kamu marah ketika mentari tak bersinar. Boleh saja kamu kesal karena langit menjadi mendung. Tapi tetaplah tersenyum dalam keadaan apapun. Karena senyummu lebih bercahaya dari sinar mentari pagi dan lebih cerah dari langit biru... Tetaplah tersenyum meski kau sedang tak ingin. Tetaplah tersenyum, walau aku tak tahu untuk siapa senyummu itu. Dan tersenyumlah sekali saja untukku, walau aku tak bisa melihatnya...”
Sambil tersenyum aku komen status itu hanya dengan dua karakter: “=)” dan aku pun tersenyum. Ya, senyum ini untuknya.
***
Setahun berlalu, dan selama setahun itu juga Rahmat tak sekalipun mengirimi SMS atau telpon. Padahal kukira ia hanya kuat begitu selama dua bulan, tapi ternyata tidak. Dan entah mengapa aku merasa kehilangan. Aku kehilangan perhatiannya, yang meskipun berlebihan tapi aku merasa berharga karena diperhatikan. Aku kehilangan rasa kesal ketika menerima nasihat-nasihatnya. Aku kehilangan pesan-pesannya di tiap pagi yang selalu menyemangati dan memintaku untuk selalu terseyum.
Aku baru menyadari kalau sebenarnya aku merindukannya, di saat ia telah pergi.
***
Kulanjutkan lagi pekerjaanku yang menumpuk. Sudah sejam lagi berlalu, dan ternyata ia tak menghubungiku. Syukurlah. Aku sudah bosan dengan semua perhatiannya yang menurutku berlebihan. Tiap pagi selalu mengirimi SMS “selamat bekerja”, “semangat selalu”, atau “keep smiling”. Belum lagi kalau waktunya lunch, sederet SMS yang isinya seperti susu nutrisi untuk anak balita yang susah makan. Dikiranya aku anak kecil, apa, yang tiap kali mesti dinasihati sebelum melakukan sesuatu. Memangnya siapa dia? Bapakku bukan, kakak juga bukan, apalagi pacar. Mau sok-sokan mengatur hidupku.
“Ver” panggil Mbak Tita. “Yuk, kita lunch. 'Udah jam setengah satu, nih!”
O, ow. Keasyikan kerja sampai lupa waktu. Yeah, aku harus segera makan siang dan kembali lagi karena banyak deadline.
“'Bentar, Mbak Ita! Aku save dulu!”
Kami pun beranjak ke Warung Padang sebelah kantor, dan pikiranku langsung melambung ke isi perut cumi betina yang sedang hamil. Yaa..yy! Kangen pengen makan telor cumi bakar!
Setelah mengantri lumayan panjang, akhirnya makan.
“Ver, kamu lagi stres ya?” tanya Mbak Tita sambil memasukkan ongokan daun singkong ke dalam mulutnya yang lebar.
“Iya lah, mbak. Dua bulan pulang malem melulu. Tapi dateng mesti pagi dan ggak boleh kesiangan.” balasku sewot sembari memotong perut cumi bakar yang kenyal dengan sendok.
“Lagian, badan kamu juga kurusan. Padahal aku pengen, lo, punya badan kurus. 'Udah nyoba segala cara, tapi gak pernah berhasil. Eh, kamu masuk sini lima bulan malah gampang kurus. Haha...”
“Ye... Emangnya enak, apa, kurus karena stres?”
“Ya 'udah, sabar aja. Tunggu kabar Mbak Sinta aja. Setelah melahirkan dia bakal lanjut atau nggak”
“Hah!” aku melonjak kaget. “Masak, sih, dia abis cuti nggak mau lanjut? Serius, mbak?”
“Siapa tau”
“Bisa mati, aku. Kalo beneran dia nggak ada aku bakal lembur tiap malem.” karena kesal aku masukan sesendok munjung nasi ke mulut.
“Aha, segitunya. Nyantai, aja, nggak usah mikir yang kejauhan. Nih, aku tambahin dagingnya, kebanyakan aku. Lumayan, perbaikan gizi, hehehe”
“Makasih, Mbak Tita yang baik. Semoga Tuhan memberkati, hehe...” balasku sambil cengangas-cengenges.
Acar makan siang kami lanjutkan dengan penuh semangat.
Kembali ke kantor, dan kudapati dua SMS baru yang isinya:
“hey.. Semangt, smngt, yg bnyk krjaan! Jgn Lp makan, yaa...=3”
Satu lagi:
“sory, sory, bkn'a mw ngtr2.cm pgn ingtin aja. Gk ush bls...”
Sambil mendesah bete aku bergumam dalam hati, “Ye... ge-er. Siapa juga yang mau mbales. Dasar freak!”
Kembali kulanjutkan pekerjaan. Puluhan aplikasi kartu kredit sudah mengantri untuk diaudit. Yah, pekerjaan semacam ini memang tidak berat, tapi membosankan. Namun ada yang lebih membosankan; menerima SMS dan telpon dari Rahmat. Kalau 'udah ngobrol lagaknya 'udah kaya orang penting bagiku. Sok dibuat manis nada bicaranya, dan kadang suka ngomongin hal-hal yang nggak ada urusannya sama dia. Pernah suatu kali ia mengingatkanku jangan pulang terlalu malam waktu aku hang-out sama teman-teman kampus. Dan ia kaget begitu kuberitahu kalau aku pulang hang-out jam setengah tiga pagi.
“suka suka akuNya dng mo pLng jem bRp?” Begitu balasan SMS-ku ketika ia mengirimiku SMS yang terkesan sok berurusan; “jm sgtu? Sekalian ja plgnya siang!”. Huff... Sungguh tidak nyaman menerima SMS seperti itu dari orang yang bukan siapa-siapa.
Malam, jam 9. Aku baru pulang kantor, sementara yang tersinya hanya satpam yang jaga di gerbang luar.
“Malem, Pak Sapto. Duluan, ya...” pamitku kepada satpam berumur 41 tahun itu.
“Iya, Neng Vera. Hati-hati, ya...”
Tak berapa lama aku sudah menempelkan pantatku di atas kursi plastik berwarna oranye. Tumben, tidak terlalu ramai. Selain itu jalanan di luar kulihat agak sepi. Tidak seperti biasanya. Tak apa, lah. Bagus, biar cepat sampai rumah.
Kuambil hape dari tasku dan kunyalakan radio. Kebetulan radio kesukaanku sedang memutar program curhat dan temanya kali ini tentang persahabatan.
“Oke, Mir. Mungkin temen lo itu bener-bener sayang sama lo. Terima aja” kata si penyiar satu yang bersuara renyah. “'Kan asik, tuh, ada orang yang perhatian. Siapa tau kalo lo butuh apa-apa tinggal panggil” sambung penyiar satunya lagi dengan suara agak cempreng.
“Tapi kan, gue jengah juga, dikit-dikit dia SMS. Dikit-dikit dia telpon. Cowok gue aja nggak gitu-gitu banget” balas si penelepon.
“Ya' udh, Mir. Lo terima aja, dalam artian bukan terima kalo ternyata dia beneran suka sama lo. Maksud gue, terima aja kalau ada seseorang yang perhatian sama lo. Masalah lo udah punya pacar atau nggak itu nggak ada hubungannya sama perhatian temen lo. Atau kalo lo emang ngerasa nggak nyaman sama SMS-SMS dan telpon dari temen lo, lo bicarain aja baik-baik” lanjut si penyiar bersuara renyah.
“Iya. Pokoknya jangan bikin dia gantung, deh. Kalian 'kan mulai berteman secara baik-baik, kalo ada apa-apa juga harus baik-baik. Biarpun dia bukan siapa-siapa lo, pokoknya tetep jaga and ngertiin perasaan dia” tambah si penyiar cempreng, yang, menurutku aneh. Untuk apa mencoba memahami perasaan seorang yang bukan siapa-siapa.
Tak lama diputarlah lagu Kepompong dari Sindentosca.
“...mungkin karena ku yang bertindak kejauhan. Namun semua karena ku sayang...”
Entah mengapa, mendengar lagu ini aku teringat Rahmat, cowok sok perhatian itu.
Setengah sebelas malam. Kucoba untuk memejamkan mata namun tak urung terpejam. Iseng ah, nge-twitt dulu :
“Rempong, bo', udh Lmbur 2 blan, bonus gk ada, pala pusing, lagi jd gk bisa tdur, @Cumigoreng wiken kongkow lg yukz!”
Baru beberapa menit twitter-an, ada yang ,mention:
@Veraconcetta jalan pulang ya? Asik gak, lemburnya? Hehehe...semangattt!!!
Oh, no! Dia lagi! Selalu datang kapan dan di mana saja. Tanpa pikir panjang langsung ku log-out twitter-ku. Gila tuh, orang. Bisa-bisanya tahu kalau aku memang sedang dalam perjalanan. Lama-lama aku merasa tidak nyaman dan dibuntuti.
Aku jadi serba salah. Kalau kutanggapi, dia tak'kan berhenti. Tapi kalau dicuekin, dia malah nggak bisa diam. Kalau aku baik, dia ke geer-an. Dan kalau dijutekin dia asik berapologi.
Kuketik sesuatu. Bingung. Apakah si Rahmat harus kuberi "pelajaran" atau tidak. Atau, lebih baik cuekin aja. Gapapa juga, sih, dicuekin. Lha wong aku bukan siapa-siapanya dia. Tapi, kalau dibiarkan, dia bisa terus-terusan begini. Entah sampai kapan SMS darinya terus mengalir.
Lama aku terdiam menghadapi layar hape-ku. Kata-kata apa yang harus kutuliskan tanpa menyakiti hatinya. Bagaimana caranya menyampaikan maksudku tanpa melukainya, karena aku tak pandai berkata-kata. Hingga...'Drrtt...' Sial! Baru mau SMS dia sudah lebih dahulu mengirim. Oh, bukan. Bukan dari Rahmat. Ternyata SMS dari Mbak Tita.
“ver, maaf ngedadak, bsok aku gk masuk, mamaku masuk rumkit. Kerjaan kamu hadnle dulu ya ”
What!!!
Makin tak bisa terpejam mataku dibuatnya. Kenapa hari-hariku makin tak karuan. Pekerjaan menumpuk ditambah numpuk lagi, ditambahn SMS gak penting dari orang yang nggak kalah nggak pentingnya.
Ya sudah, daripada gila segera kupejamkan mataku. Nggak peduli akan ada apa lagi, pokoknya harus tidur, karena besok masih lembur!
***
Tumben hari ini aku bangun tanpa rasa kantuk sedikitpun walau sebenarnya lebih senang untuk tidur daripada berangkat ke kantor. Dan seperti biasa, pagi ini sudah ada satu, ups, ternyata dua pesan masuk! Entah apa isi SMS "Selamat Pagi" dari Rahmat kali ini. Pesan pertama dari Linda yang ngasih tahu kalau hari ini dia pulang dari Surabaya, dan yang kedua:
“Untk mendptkan 5 hal kebaikan dunia akhrat melalui...Berkah Rejeki...SHolat malam...”
Lho, tumben. Isi SMS-nya berbau reliji begini. Oh, sial. Ternyata dari Rahma, teman kuliah dulu yang juga anak Rohis. Pantas saja.
***
Di atas kursi oranye yang melelahkan karena harus menunggu selama satu setengah jam beserta macet dan hamparan keringat pagi serta makian para kernet bis yang tak mau mengalah ketika bis-nya diserobot, melintas tumpukan berkas dan data di atas kepalaku. Belum sampai kantor tapi aku sudah memikirkannya. Yah, hari ini aku harus mengerjakan tugas-tugas yang menumpuk ditambah tugas dua orang yang tak bisa ditinggalkan. Ya Tuhan, jangan biarkan semangatku luntur.
Tak lama, 'Drrtt...'.
“bolh saja kamu marah ktika mntari tak bersinar. Boleh saja km kesal krn lngit mnjadi mndung. Tpi ttplh trsnyum, dlm keadaan apapn. Krn snyummu lbh berchaya dri sinar mntri pagi dan lbh crh di langit biru... Met bekerja :) ”
Dia lagi. Tak pernah lupa mengirimiku SMS. Ingin langsung kuhapus saja SMS-SMS darinya. Satu persatu tombol menuju “delete” kutelusuri, namun jemariku terhenti. Kubalik lagi halaman barusan dan membacanya sekali lagi. Kubaca perlahan dan kuulangi dalam hati:
“...Tapi tetaplah tersenyum dalam keadaan apapun...” kuucapkan berkali-kali kalimat itu secara perlahan. Kutatap dalam-dalam isi SMS itu, dan, kumasukan kembali hape-ku.
Setelah aku turun dari bis aku mencoba mengulangi kalimat tadi supaya etap tersenyum. Tersenyum? Ah, betapa mudahnya tersenyum, namun sangat berat untuk kulakukan.
Aku memasuki kantor dengan langkah pelan. Orang-orang menyapaku dan aku membalas sekenanya. Kuseduh kopi susu dan langsung bekerja.
***
Tanpa terasa sudah hampir jam 5 sore, dan masih ada pekerjaan menunggu. Hari ini rasanya sepi sekali. Selain semua orang juga sibuk dengan pekerjaannya, nggak ada Mbak Tita yang biasanya 'rame' dan selalu melontarkan joke-joke jayus dan nggak penting namun menghibur. Bosan juga. Tak ada teman bicara.
Kutengok hape-ku. Sepanjang hari ini tidak bereaski sedikitpun, seolah kehilangan sinyal dan membuatku terputus dari dunia luar. Ada harap-harap cemas dalam hati ini melihatnya.
***
Hari ini kembali aku pulang jam 9 malam, dan Pak Sapto menyapaku seperti biasanya.
Aku duduk mematung di halte sambil menunggu Si Oranye berkursi plastik datang. Jalanan lengang dan sepi, lebih sepi dari kemarin malam. Oh, ada apa, ini. Mengapa semakin malam semakin sepi? Tapi biarlah, aku bisa menghapus rasa sepi itu dengan memutar radio.
Deretan lagu cinta mengisi telingaku. Dari yang romantis sampai mellow abis. Baru lagu ketiga, akhirnya Si Oranye datang.
Masih sesepi malam kemarin dan radio masih berputar di telingaku. Bolak-balik kutengok hape-ku. Tak ada pesan, apalagi panggilan masuk. Dan kesunyian di hape-ku terus berlanjut hingga aku tiba di rumah dan menenggelamkan wajahku di atas bantal. Jadi pengen ikutan sunyi. Malam ini nggak mau nge-twitt atau update status dulu. Palingan Si Rahmat langsung ikutan nimbrung.
***
Sudah seminggu Mbak Tita nggak masuk karena harus bergantian dengan kakaknya menjaga mamanya di rumah sakit. Akh... semakin hari aku merasakan bete yang berkepanjangan. Berbagai cara kulakukan untuk melepaskan rasa suntuk. Sayang beribu sayang, tak ada yang bisa dilakukan. Satupun temanku tak ada yang bisa diajak nongkrong. Pacarku sibuk dengan urusan klien dan tak bisa menemani nonton, sedangkan seisi rumahku serasa datar-datar saja.
Di tengah kekosongan hati dan pikiran aku teringat Rahmat. Sial! Kenapa aku jadi ingat dia. Bukankah kemarin-kemarin aku berusaha menghindarinya dengan nyuekin segala macam panggilan di telpon? Padahal aku sudah merasa tenang juga ketika berhasil membuatnya vakum selama seminggu ini?
SMS, jangan? Telpon, jangan? Bimbang. Antara sungkan, malu dan jaim menjadi satu.
***
Sebulan telah berlalu, dan aku sama sekali tak mendengar kabar atau apapun dari Rahmat. Tak ada SMS, telpon, atau komen di twitter dan facebook.
Kebetulan kerjaan tidak terlalu padat, dan aku menyempatkan diri membuka facebook lewat hape. Akun-nya Rahmat masih aktif sampai sejam lalu. Kumasuki halaman profilnya, kucek satu-satu karena penasaran dan tidak ada sesuatu yang membuatku ingin mencari tahu,hingga akhirnya ia membuat status baru:
“Boleh saja kamu marah ketika mentari tak bersinar. Boleh saja kamu kesal karena langit menjadi mendung. Tapi tetaplah tersenyum dalam keadaan apapun. Karena senyummu lebih bercahaya dari sinar mentari pagi dan lebih cerah dari langit biru... Tetaplah tersenyum meski kau sedang tak ingin. Tetaplah tersenyum, walau aku tak tahu untuk siapa senyummu itu. Dan tersenyumlah sekali saja untukku, walau aku tak bisa melihatnya...”
Sambil tersenyum aku komen status itu hanya dengan dua karakter: “=)” dan aku pun tersenyum. Ya, senyum ini untuknya.
***
Setahun berlalu, dan selama setahun itu juga Rahmat tak sekalipun mengirimi SMS atau telpon. Padahal kukira ia hanya kuat begitu selama dua bulan, tapi ternyata tidak. Dan entah mengapa aku merasa kehilangan. Aku kehilangan perhatiannya, yang meskipun berlebihan tapi aku merasa berharga karena diperhatikan. Aku kehilangan rasa kesal ketika menerima nasihat-nasihatnya. Aku kehilangan pesan-pesannya di tiap pagi yang selalu menyemangati dan memintaku untuk selalu terseyum.
Aku baru menyadari kalau sebenarnya aku merindukannya, di saat ia telah pergi.
***
Komentar
Posting Komentar