Main Layangan dan Tarik-Ulur
Sore itu di halaman Aksam saya memperhatikan kawan saya sedang bersusah payah menaikkan layangan. Saya perhatikan, dia nggak pernah sukses menaikkan layangan. Memang apa susahnya, sih, naikin layangan. Walau kelihatan gampang, ternyata nggak mudah menaikkan layangan. Setidaknya ada dua proses penting yang mesti dikuasai supaya bisa menaikkan layangan; 1). Pemetaan arah mata angin, dan 2). Tarik-ulur. Nah, tarik-ulur ini, nih, bagian paling sulit dalam bermain layangan.
Sejenak mengalihkan pandangan dari layangan yang tak berhasil dinaikkan oleh teman saya, iseng-iseng saya menganalogikan “bermain layangan” bagai sebuah “hubungan”. Plis, deh, kurang kerjaan banget, sih, nyangkut-pautin layangan sama begituan (f-,-).
Eh, bener, lo. Main layangan ‘tuh, kaya sedang menjalani sebuah hubungan. Dalam menjalin atau membangun sebuah hubungan, kadang seseorang harus melakukan berbagai cara dan usaha supaya hubungan bisa berjalan dengan mulus. Bisa dengan cara pedekate, curi-curi pandang, sampai memberikan perhatian khusus. Atau bagi yang sudah saling kenal, bisa juga dengan meningkatkan intensitas komunikasi. Baik lewat SMS, e-mail, chatting, atau telponan. Semua usaha itu kita analogikan dengan proses “pemetaan arah mata angin”.
Biasanya, setelah seseorang berhasil melalui proses tersebut, ia akan melakukan tahap pendekatan lebih mendalam lagi. Mulai membicarakan hal-hal yang sifatnya pribadi, pekerjaan, bahkan sampai keluarga. Dan kadang-kadang mulai coba-coba untuk merayu. Intensitas menelepon makin meningkat, SMS-an kian rutin, serutin sholat 5 waktu dan sholat sunnah-nya. Pokoknya everyday is happy, deh. Semuanya menjadi indah. Yang buruk kelihatan cakep, yang kurang selalu tampak lebih, dan segala perbedaan seolah nggak pernah ada. Dalam fase ini besar kemungkinan seseorang merasa seperti sedang terbang tinggi. Dan semakin tinggi ia terbang, akan semakin sakit juga kalau terjatuh.
Kemudian, layaknya layangan yang sudah terbang, mesti ditarik-ulur supaya bisa makin tinggi. Begitu pun dalam berhubungan. Kadang ada proses “tarik-ulur”. Ada saatnya sok-sok jual mahal dan jaim, sampai-sampai nyoba supaya jadi misterius. Sesekali intensitas berkomunikasi dikurangi, supaya timbul rasa kangen. Posting-postingan komen di facebook juga nggak terlalu sering lagi. Tapi celakanya, ketika melakukan proses “ulur”, si dia malah “tarik”, begitupun sebaliknya. “Kau kudekati, kau menjauh. Kau kujauhi, kau malah mendekat”. Begitulah, proses tarik-ulur ini terus berlangsung hingga muncul dua kemungkinan: 1). lanjut, 2). putus.
Semakin ditarik-ulur layangan, ia bisa terbang tinggi, dan sebagai orang yang menaikkannya akan merasa makin senang bila layangannya mampu terbang tinggi dan stabil. Tapi yang menyakitkan adalah ketika layangan itu belum terlalu tinggi dan masih harus ditarik-ulur, kemudian putus disambar layangan lain atau tersangkut sesuatu. Dan kita kehilangan layangan tersebut. Menyakitkan, memang. Tapi begitulah, bermain layangan. Selalu ada kemungkinan untuk terbang tinggi atau putus. Pun sebuah hubungan. Selalu ada kemungkinan untuk putus di tengah jalan. ‘Udah capek-capek dinaikkin dan tarik-ulur, nyatanya mesti putus.
09 Maret 2011
Sejenak mengalihkan pandangan dari layangan yang tak berhasil dinaikkan oleh teman saya, iseng-iseng saya menganalogikan “bermain layangan” bagai sebuah “hubungan”. Plis, deh, kurang kerjaan banget, sih, nyangkut-pautin layangan sama begituan (f-,-).
Eh, bener, lo. Main layangan ‘tuh, kaya sedang menjalani sebuah hubungan. Dalam menjalin atau membangun sebuah hubungan, kadang seseorang harus melakukan berbagai cara dan usaha supaya hubungan bisa berjalan dengan mulus. Bisa dengan cara pedekate, curi-curi pandang, sampai memberikan perhatian khusus. Atau bagi yang sudah saling kenal, bisa juga dengan meningkatkan intensitas komunikasi. Baik lewat SMS, e-mail, chatting, atau telponan. Semua usaha itu kita analogikan dengan proses “pemetaan arah mata angin”.
Biasanya, setelah seseorang berhasil melalui proses tersebut, ia akan melakukan tahap pendekatan lebih mendalam lagi. Mulai membicarakan hal-hal yang sifatnya pribadi, pekerjaan, bahkan sampai keluarga. Dan kadang-kadang mulai coba-coba untuk merayu. Intensitas menelepon makin meningkat, SMS-an kian rutin, serutin sholat 5 waktu dan sholat sunnah-nya. Pokoknya everyday is happy, deh. Semuanya menjadi indah. Yang buruk kelihatan cakep, yang kurang selalu tampak lebih, dan segala perbedaan seolah nggak pernah ada. Dalam fase ini besar kemungkinan seseorang merasa seperti sedang terbang tinggi. Dan semakin tinggi ia terbang, akan semakin sakit juga kalau terjatuh.
Kemudian, layaknya layangan yang sudah terbang, mesti ditarik-ulur supaya bisa makin tinggi. Begitu pun dalam berhubungan. Kadang ada proses “tarik-ulur”. Ada saatnya sok-sok jual mahal dan jaim, sampai-sampai nyoba supaya jadi misterius. Sesekali intensitas berkomunikasi dikurangi, supaya timbul rasa kangen. Posting-postingan komen di facebook juga nggak terlalu sering lagi. Tapi celakanya, ketika melakukan proses “ulur”, si dia malah “tarik”, begitupun sebaliknya. “Kau kudekati, kau menjauh. Kau kujauhi, kau malah mendekat”. Begitulah, proses tarik-ulur ini terus berlangsung hingga muncul dua kemungkinan: 1). lanjut, 2). putus.
Semakin ditarik-ulur layangan, ia bisa terbang tinggi, dan sebagai orang yang menaikkannya akan merasa makin senang bila layangannya mampu terbang tinggi dan stabil. Tapi yang menyakitkan adalah ketika layangan itu belum terlalu tinggi dan masih harus ditarik-ulur, kemudian putus disambar layangan lain atau tersangkut sesuatu. Dan kita kehilangan layangan tersebut. Menyakitkan, memang. Tapi begitulah, bermain layangan. Selalu ada kemungkinan untuk terbang tinggi atau putus. Pun sebuah hubungan. Selalu ada kemungkinan untuk putus di tengah jalan. ‘Udah capek-capek dinaikkin dan tarik-ulur, nyatanya mesti putus.
09 Maret 2011
hahahah,,bner bangett,,
BalasHapusbtw kl misalnya trlalu jaim itu gmna ya :D
Itu sih, mah, tunggu waktu aja, ehhehe...
BalasHapusKadang2 jaim diperlukan jua\ga, sih
BTW, ini Iras yang anak UIN bukan?