CINTA BUTUH KONFIRMASI
Alkisah hidup sepasang sahabat, Maman dan Mimin --biar gampang aja manggilnya. Hm,... 'udah ketahuan lah ya, mana yang cewek dan yang cowok? Oke, lanjut!
Ceritanya, Maman ini baik, peduli dan perhatian banget sama Mimin. Pun sebaliknya, Mimin juga penuh perhatian, kasih sayang serta penuh kelembutan. Singkat cerita, dari persahabatan mereka yang sudah berjalan sekian tahun, tumbuh benih cinta pada satu pihak. Ya, satu pihak, pihaknya si Maman! Persis seperti kata orang Jawa, "witing tresno jalaran soko kulino", yang kalau diartikan kira-kira "awalnya sayang itu tumbuh karena terbiasa". Biasa bertemu, berinteraksi, bertukar pikiran, dan lain sebagainya.
Sayang seribu sayang, cinta Maman bertepuk sebelah tangan. Selain Mimin sudah punya pacar, rupa-rupanya Mimin menganggap Maman hanya sebagai teman dekat dan kakak, tak lebih dari itu. Namun hal itu dapat dimaklumi Maman karena Maman memang tahu bahwa Mimin sudah punya pacar. Yang membuat Maman tak habis pikir adalah pertayaan "sayang sebagai apa?" yang diajukan Mimin saat Maman menyatakan rasa cintanya.
"Sayang sebagai apa?" Kalimat itu terus membayang di benak Maman. "Sebagai apa?" Kata-kata mutiara berkiau nan mempesona yang ia utarakan kepada Mimin, masih harus disandangkan dengan pertanyaan "sayang sebagai apa?" Kok, rasa-rasanya seperti melamar pekerjaan tanpa menulis CV yang jelas sehingga sang HRD akan bertanya kepada sang pelamar, "mau kerja sebagai apa?"
Apakah cinta memang butuh konfirmasi? Apakah sayang harus dikelompokkan antara sayang kepada teman, keluarga, atau pacar, sehingga masing-masing curahan sayang mendapat perlakuan yang berbeda? Kalau pacar minta ketemuan akan langsung diiyakan, sementara kalau teman minta ketemuan akan pikir-pikir dulu? Atau bahkan rela membatalkan janji bertemu teman demi bisa bertemu pacar?
Logika ini yang tak dapat diterima oleh Maman. Sepanjang pemahaman Maman yang sederhana, cinta itu tumbuh alami. Bisa kepada kepada siapa saja dan di mana saja, sehingga tidak harus dibeda-bedakan. Lalu muncul banyak pertanyaan di benak Maman: apakah cinta itu seperti belanja online yang harus mengonfirmasi bila telah melakukan pembayaran? Apakah cinta itu seperti nge-save dokumen di komputer yang harus konfirmasi dulu, mau "yes", "no", atau "cancel?". Apakah cinta itu seperti memesan kamar hotel yang kalau tidak dikonfirmasi sebelum habis waktunya bisa diambil orang? Seribet itukah Tuhan menciptakan cinta?
Bukan salah Tuhan atau cinta. Mungkin Maman yang terlalu naif. Maman tidak sadar kalau dunia zaman now butuh yang namanya status dan legitimasi. Hubungan seseorang sah atau tidaknya tidak lagi dilihat dari hitam di atas putih, tapi lebih primitif, atas dasar suka sama suka dan rela sama rela meski tidak punya kekuatan secara hukum. Mamanlah yang ketinggalan zaman dengan menganggap bahwa cinta itu universal, di tengah dunia dimana status cinta bisa jadi semacam tali kekang antara individu satu dengan individu lainnya.
Akhirnya Maman tersadar. Cinta itu tidak semudah menebar jagung ke tanah untuk kawanan burung merpati. Cinta itu harus lihat-lihat, apakah targetnya sudah ada cap "hak milik" orang lain atau belum? Kalau belum ada bolehlah dibidik, kalau sudah ada maka haram dan najis untuk didekati.
Ironis. Hanya perkara konfirmasi cinta, akhirnya Maman kehilangan sahabatnya. Padahal saat mereka dulu berteman tidak pernah ada pertanyaan untuk mengonfirmasi, "mau jadi teman atau sahabat?"
Komentar
Posting Komentar