DANGDUT ala RHOMA IRAMA ; MUSIK SASTRAWI YANG SARAT AKAN DAKWAH
Sejak kecil saya sudah mendengar musik dangdut karena musik dangdut ada di mana-mana; pasar, terminal, warung-warung, atau di pinggir jalan. Meski begitu tidak serta merta saya menjadi penikmat musik dangdut karena (saat itu) bagi saya musik dangdut tak lebih dari musik ratapan orang yang putus bercinta sekaligus musik yang identik dengan goyangan erotis. Karena citra tersebut saya selalu menghindari musik dangdut hingga terkesan “anti dangdut”.
Meski begitu saya tidak benar-benar memusuhi musik dangdut karena ada jenis musik dangdut yang masih bisa saya nikmati seperti musik dangdut yang dibawakan oleh Rhoma Irama, alias sang Raja Dangdut. Buat saya musik dangdut yang dibawakan Rhoma Irama (bersama soneta) benar-benar memenuhi unsur artistik komposisi sebuah lagu, baik lirik maupun musik. Dari segi lirik lagu milik Rhoma Irama memiliki unsur sastra yang cukup kental, seperti penggunaan rima A-A-A-A maupun A-B-A-B layaknya pantun, juga menggunakan bahasa-bahasa yang indah dan terkadang puitis. Dari segi makna lagu Rhoma Irama sarat akan pesan moral dan ajakan untuk berbuat baik, karena Rhoma Irama juga berdakwah melalui lagu-lagunya –sayangnya beberapa lirik lagunya terkesan mengajarkan. Dari segi musik, komposisinya lintas budaya karena memasukan unsur-unsur musik Melayu, India, serta musik rock era 70-an, sehingga musik dangdut ala Rhoma Irama layak disebut sebagai musik fushion. Tidak berlebihan kiranya kalau akhirnya saya mengagumi sosok Rhoma Irama, dan perlahan saya tidak keberatan mendengarkan musik dangdut lainnya.
Dulu saya sering saya sok' jaim dan jual mahal kalau dengerin dangdut. Bagi saya lebih keren dengerin musik rock atau jazz, yang soulful dan skillful. Dan bicara soal soul, ternyata soulnya musik dangdut memang cocok untu orang Indonesia. Tidak bisa tidak, irama musik dangdut yang kental dengan pukulan dendang merangsang syaraf otak untuk memerintahkan badan supaya bergoyang, bahkan joget. Dangdut juga dikenal sebagai musik rakyat. Betapa tidak, tiap ada acara 17-an misalnya, kawinan, atau pesta-pesta rakyat lainnya, siapapun tak akan menolak ketika musik dangdut diputar, malahan ada yang meminta diulang-ulang dan ikut berjoget. Baik tua maupun muda ikut berjoget dangdut. Tak ada beda kaya atau miskin, semua setara dalam alunan musik dangdut(hayo ngaku, pasti pernah joget dangdut, kan?). Berjoget dangdut befungsi sebagai pelepas stress, atau sebagia tarian untuk lucu-lucuan atau menghibur orang.
Begitulah. Sebenarnya musik dangdut adalah musik yang paling mudah untuk dinikmati dan menjangkau berbagai kalangan lewat jogetnya. Hanya saja banyak penyanyi-penyanyi dangdut wanita yang menyelipkan goyangan-goyangan yang erotis dan mengundang nafsu berahi (menurut mayoritas orang, saya sendiri malah ilfil ngeliatnya) dan mengabaikan musikalitas. Yang terjadi adalah pandangan negatif akan dangdut itu sendiri dan hal ini lumrah adanya, sebab kebanyakan pentas dangdut yang didominasi oleh penyanyi wanita selalu menghadirkan tarian-tarian yang “menggoda”. Sebut saja Inul yang terkenal dengan goyang ngebor, Annisa Bahar dengan goyang patah-parah, atau Uut dengan goyang satu kaki (saya gak tau namanya, heheheheh...). Malah ada istilah goyang Karawang! Buat yang satu ini saya belum tahu dari mana asal-usulnya.
Gejala seperti itu jugalah yang membuat saya tidak begitu antusias untuk menghadiri pentas dangdut. Karena tidak semua jenis musik dangdut bisa saya nikmati. Hanya dangdut rhoma Irama yang paling mudah saya nikmati. Alasannya karena ketiga faktor yang telah saya sebutkan sebelumnya; komposisi musik yang artistik dan lintas budaya; bahasa yang sastrawi; serta pesan yang disampaikan. Sehingga tidak ada bedanya ketika menyandingkan dangdut Rhoma Irama dengan musik rock, metal, jazz, ataupun musik-musik fushion. Tertarik dengerin dangdutnya Rhoma Irama? Terserah Anda
26042010
Komentar
Posting Komentar