KOMIK dan NOVEL GRAFIS



Malam ini saya ikut bersama Errie dan Beng kumpul-kumpul di komunitas curipandang.com di bilangan Jl. Ahmad Dahlan, Jaksel, yang kebetulan membahas tentang novel grafis. Kami bertiga tiba sekitar pukul delapan.

Karena sedikit ketinggalan, saya belum terlalu mencerna apa yang sedang dibicarakan, sampai akhirnya timbul pertanyan dari para hadirin mengenai perbedaan antara novel grafis dengan komik, lalu batasan apa saja pada sebuah karya hingga layak/bisa disebut sebagai novel grafis, dan mengapa ada istilah novel grafis?

Saya sempat memberi komentar ke hadirin, yang mudah-mudahn dimengerti. Meminjam istilah yang saya dapat dari Beng, saya bilang kalau komik ataupun novel grafis sebenarnya sama, karena mereka berdua lahir dari dua orang tua berbeda yaitu gambar dan narasi (story telling) yang melahirkan satu kesatuan. Masalah penamaan “komik” ataupun”novel grafis” pun lebih bersifat kontekstual. Kembali mengutip apa yang sebelumnya diungkapkan Beng, beliau menjelaskan bahwa Will Eisner (yang dijuluki sebagai bapak novel grafis) memakai istilah “novel grafis” untuk kepentingan komersil, sekaligus menekankan bahwa karya Will Eisner tidak semata gambar bercerita (komik) yang isinya orang-orang berkostum dalam dunia fantasi. Dan (mungkin) Will Eisner juga ingin menghadirkan citra komik yang tak sekadar bacaan bergambar yang isinya “bag-big-bug”, pukul-pukulan, serta sebagai bacan ringan. Tapi ada kisah yang lebih mendalam didalamnya.

Secara konten/isi tidak ada yang membedakan mana komik mana novel grafis karena isinya sama-sama gambar yang bercerita. Jadi tidak perlu dibuat pengelompokan antara komik dan novel grafis. Kalau pemakaian istilah novel grafis digunakan untuk mengangkat derajat komik supaya tidak dianggap bacaan ringan, menurut saya itu sah-sah saja. Atau untuk mensejajarkan diri dengan novel yang dianggap sebagai bacaan lebih “berisi” daripada komik, itupun tidak menjadi masalah. Karena kita semua juga tahu kalau komik sering dianggap sebagai bacaan ringan yang tidak mendidik, sekaligus dicitrakan sebagai bacaan anak-anak, atau juga dikaitkan sebagai bacaan tidak berbobot, akibatnya komik mendapat stigma negatif di mata masyarakat.

Memang ada beberapa komik yang isinya mengandung unsur SARA dan kekerasan (seperti halnya bacaan lainnya, film, ataupun lagu yang mengandung unsur SARA dan kekerasan). Kelebihan komik yang bersifat visual, justru membuat orang lebih mudah melihat unsur-unsur negatif dalam komik tanpa harus berpikir panjang dan membaca narasinya. Well, itulah sebuah media. Selalu ada sisi negatif di balik sisi positifnya. Saya sendiri belum sepenuhnya paham mengenai komik dan novel grafis, tapi bagi saya baik komik ataupun novel grafis sama-sama gambar bercerita, yang tersusun melalui panel-panel dan diperkuat dengan adanya narasi, dan terlahir dari “gambar” dan “narasi” serta tidak perlu diperdebatkan penggunaan sebutannya. Kalau pun ada yang tetap bersikeras membeda-bedakan suatu karya cergam (cerita bergambar) bisa jadi mereka punya alasan sendiri yang digunakan untuk keperluan tertentu. Pastinya, kita tetap bisa menikmati komik, novel grafis, ataupu novel sebagai bacaan yang menyenangkan.

Ada yang mau menambahi kekurangan dari tulisan ini, atau sekadar member input? Thx

Salam
-AMET I.M-
24 April 2010

Komentar

Postingan Populer