MANDI UJAN YA, BUN?
(Cerpen/Kisah ini fiktif belaka)
Sore itu hujan turun dengan derasnya, membasahi semua atap rumah, pohon, tiang listrik, dan jalan-jalan. Aku terdiam di balik jendela ruang tamu menyaksikan hujan pertama setelah hampir tiga minggu tidak turun hujan lagi. Akhirnya, aku bisa merasakan sedikit kesejukan di tengah cuaca yang panas dan membuat sekitarku berada terasa kering.
Sambil memandangi halaman rumah kami yang cukup luas, tiba-tiba aku teringat masa kecilku dulu. Aku, kakakku, dan beberapa teman se-gang sangat senang bila hujan deras datang. Itu artinya kami semua bisa mandi hujan! Aku dan kakakku selalu menjadi orang pertama yang nyamperin dan mengajak teman-teman untuk mandi hujan. Kalau sudah begitu, gerombolan geng mandi hujan bisa berjumlah 5-10 orang!
Biasanya kami mengelilingi gang-gang dalam satu RW, lanjut ke lapangan voli di dekat kantor RW, dan sesekali nyemplung ke selokan besar di sisi lapangan voli lalu bermain perosotan karena selokannya cukup landai. Hihihihihi...Aku hanya tersenyum sendiri mengingat masa kecil itu.
Belum selesai aku bernostalgia sendiri, tiba-tiba.
“Trok, trok, trok!” anakku yang baru berumur empat tahun mengetok-ngetok jendela dari luar. Dia meneriakkan sesuatu, namun aku tidak bisa jelas mendengarnya.
“Kenapa?”
“Mandi 'ujan, ya, Bun?” pinta anaku.
“Hah? Mandi ujan?”
“Iya. Boleh, kan?” lanjutnya lagi.
Aku tak langsung menjawab. Aku tatap matanya perlahan. Pintanya persis seperti pintaku dulu pada ibu ketika minta ijin untuk mandi hujan. Pikiranku langsung kembali lagi ke dua puluh enam tahun yang lalu.
Awalnya ibu melarangku mandi hujan karena takut sakit. Tapi aku meyakinkan ibu bahwa aku tidak akan lama-lama, terlebih kakakku juga mengompori ibu supaya memberi ijin mandi hujan.
“Ntar abis itu langsung mandi, deh, Bun” begitu kata kakakku.
“Ya udah. Janji, ya?” lanjut ibu, dan kami berdua langsung berhamburan keluar rumah. Hanya dengan menggunakan kaus singlet dan celana dalam berpita.
Tapi saat itu adalah mandi hujan pertama dan terakhir buat aku dan kakakku, karena setelah itu kakakku demam selama tiga hari. Yang menyebabkan kakakku sakit ternyata karena dia belum makan siang, sedari pagi sudah lelah berolah raga di sekolah, dan belum lama ia juga baru pulang mengaji. Lengkaplah sudah. Saat itu memang aku belum paham betul kenapa kakakku bisa sampai sakit. Yang pasti, sejak saat itu aku tidak pernah mandi hujan lagi.
Sejurus kemudian kulihat anakku yang menatapku dengan iba dan penuh harap. Aku sebenarnya tidak mau mengijinkan ia mandi hujan. Tapi sepertinya dia benar-benar ingin mandi hujan.
“Kan Bunda 'udah janji, kalo Cecil dapet bintang prestasi boleh mandi 'ujan. Bunda 'udah janji, kan?”
Ups! Memang, aku telah menjanjikannya boleh mandi hujan dengan dispensasi harus meraih bintang prestasi minggu ini di kelasnya. Aku ingin menepati janjiku, tapi aku khawatir dia kenapa-kenapa.
“Hm, tunggu setengah jam lagi, ya. Ini kan hujan pertama. Airnya masih kotor. Jadi nggak bagus. Tunggu, ya” kataku dari balik jendela.
“Oke, Bun!” jawabnya bersemangat.
Huf. Setidaknya aku berhasil mencegah Cecil mandi hujan, walau hanya setengah jam. Entah alasan apa lagi yang bisa kubuat untuk mencegahya mandi hujan.
Aku masuk ke kamar sebentar dan kulihat Cecil berlari masuk ke dalam ngoprek-ngoprek kotak mainan di kolong anak tangga. Kulihat ia mengambil bebek karet dan beberapa mainan karet lainnya berbentuk ikan.
“Aku mau mau mandi 'ujan baleng” imbuhnya dengan penuh semangat sambil mengangkat-angkat mainannya itu, kemudian berlari keluar menungu di tepi teras.
Tak terasa, hampir setengah jam berlalu. Cecil mondar-mandir di teras tak sabar ingin mandi hujan.
“Bun, udah belum? Udah setengah jam, kan, Bun?” teriaknya dari luar.
Hah? Aku tak tahu harus memberi alasan apa lagi. Tapi kupikir, tak ada salahnya juga membiarkan anak mandi hujan. Toh Cecil tidak akan kemana-mana. Ia tidak akan pergi mandi hujan keliling gang karena halaman rumah kami cukup lega.
Aku pun memutuskan masuk ke kamar, melepaskan kardigan, rok lalu menggantinya dengan celana pendek, kemudian aku berlari keluar! Aku berlari ke halaman belakang rumah, mendahului Cecil yang sudah sangat tak sabar ingin mandi hujan.
“Bunda curang!” Cecil meneriakiku, lalu berlari mengajarku. Kami berdua berlari riang mengelilingi taman, melompat-lompat di atas rerumputan yang digenangi air, mengejar anak-anak kodok yang masih kecil di dekat pohon pisang, berenang bersama kawanan ikan mas dan sepasang kura-kura kecil di kolam dekat paviliun.
Sesekali Cecil menyiramiku dengan air kolam dan aku membalasanya. Setelah itu kami bermain “air terjun-air terjuanan” di bawah talang air. Cecil tampak sangat bersemangat dan tawa ceria menghiasai wajahnya. Kami lalu kejar-kejaran mengitari halaman belakang dan larut dalam kesenangan mandi hujan sore ini.
Aku merasa seperti anak kecil lagi. Ketika kusaksikan betapa senangnya anakku mandi hujan, padahal teman-teman seusianya dilarang orang tuanya untuk mandi hujan. Saat kulihat anakku sangat aktif di tengah guyuran hujan yang jarang bisa ia nikmati.
Hujan masih saja deras begitu kulihat suamiku muncul di depan gerbang sambil payungan, dan keheranan melihat kami berdua mandi hujan. Dari kejauhan ia hanya tersenyum dan ia menonton kami dari teras rumah. Katanya,
“Jangan lama-lama, ya!”
Setelah selesai aku dan Cecil buru-buru membersihakn diri dan berganti pakaian. Dan tak kuduga suamiku telah menyediakan dua coklat panas untukku dan Cecil, sedangkan ia menyeduh kopi. Kami bertiga sama-sama menikmati minuman hangat tersebut, lalu bercerita bagaimana serunya waktu mandi hujan tadi.
Sore ini aku sangat bahagia. Aku bisa bermain dengan anakku. Aku memberinya “hadiah kecil” berupa mandi hujan setelah dia bisa menunjukan prestasinya di sekolah. Aku bisa memberinya kebebasan plus tanggung jawab yang bisa ia jalani dengan baik. Dan yang terpenting, aku dan anakku sama-sama menikmati kebersamaan ini sebab suamiku tidak keberatan kami mandi hujan. Terima kasih Tuhan. Hujan ini bukan hanya berkah bagi alam, tapi juga bagiku dan keluargaku.
18 Agustus 2010
(*hanya ingin bagi-bagi cerita. Silahkan remove/untag bila keberatan ^^. Salam hangat, salam hujan)
Sebelumnya pernah diposting di akun facebook pada 26 Mei 2011. Banyak yang memberi masukkan, termasuk dalam penulisan dan tata bahasanya. Tapi yang ini sengaja nggak diedit atau diperbaiki. Tapi lain kali akan nulis lebih baik lagi ^^
Sore itu hujan turun dengan derasnya, membasahi semua atap rumah, pohon, tiang listrik, dan jalan-jalan. Aku terdiam di balik jendela ruang tamu menyaksikan hujan pertama setelah hampir tiga minggu tidak turun hujan lagi. Akhirnya, aku bisa merasakan sedikit kesejukan di tengah cuaca yang panas dan membuat sekitarku berada terasa kering.
Sambil memandangi halaman rumah kami yang cukup luas, tiba-tiba aku teringat masa kecilku dulu. Aku, kakakku, dan beberapa teman se-gang sangat senang bila hujan deras datang. Itu artinya kami semua bisa mandi hujan! Aku dan kakakku selalu menjadi orang pertama yang nyamperin dan mengajak teman-teman untuk mandi hujan. Kalau sudah begitu, gerombolan geng mandi hujan bisa berjumlah 5-10 orang!
Biasanya kami mengelilingi gang-gang dalam satu RW, lanjut ke lapangan voli di dekat kantor RW, dan sesekali nyemplung ke selokan besar di sisi lapangan voli lalu bermain perosotan karena selokannya cukup landai. Hihihihihi...Aku hanya tersenyum sendiri mengingat masa kecil itu.
Belum selesai aku bernostalgia sendiri, tiba-tiba.
“Trok, trok, trok!” anakku yang baru berumur empat tahun mengetok-ngetok jendela dari luar. Dia meneriakkan sesuatu, namun aku tidak bisa jelas mendengarnya.
“Kenapa?”
“Mandi 'ujan, ya, Bun?” pinta anaku.
“Hah? Mandi ujan?”
“Iya. Boleh, kan?” lanjutnya lagi.
Aku tak langsung menjawab. Aku tatap matanya perlahan. Pintanya persis seperti pintaku dulu pada ibu ketika minta ijin untuk mandi hujan. Pikiranku langsung kembali lagi ke dua puluh enam tahun yang lalu.
Awalnya ibu melarangku mandi hujan karena takut sakit. Tapi aku meyakinkan ibu bahwa aku tidak akan lama-lama, terlebih kakakku juga mengompori ibu supaya memberi ijin mandi hujan.
“Ntar abis itu langsung mandi, deh, Bun” begitu kata kakakku.
“Ya udah. Janji, ya?” lanjut ibu, dan kami berdua langsung berhamburan keluar rumah. Hanya dengan menggunakan kaus singlet dan celana dalam berpita.
Tapi saat itu adalah mandi hujan pertama dan terakhir buat aku dan kakakku, karena setelah itu kakakku demam selama tiga hari. Yang menyebabkan kakakku sakit ternyata karena dia belum makan siang, sedari pagi sudah lelah berolah raga di sekolah, dan belum lama ia juga baru pulang mengaji. Lengkaplah sudah. Saat itu memang aku belum paham betul kenapa kakakku bisa sampai sakit. Yang pasti, sejak saat itu aku tidak pernah mandi hujan lagi.
Sejurus kemudian kulihat anakku yang menatapku dengan iba dan penuh harap. Aku sebenarnya tidak mau mengijinkan ia mandi hujan. Tapi sepertinya dia benar-benar ingin mandi hujan.
“Kan Bunda 'udah janji, kalo Cecil dapet bintang prestasi boleh mandi 'ujan. Bunda 'udah janji, kan?”
Ups! Memang, aku telah menjanjikannya boleh mandi hujan dengan dispensasi harus meraih bintang prestasi minggu ini di kelasnya. Aku ingin menepati janjiku, tapi aku khawatir dia kenapa-kenapa.
“Hm, tunggu setengah jam lagi, ya. Ini kan hujan pertama. Airnya masih kotor. Jadi nggak bagus. Tunggu, ya” kataku dari balik jendela.
“Oke, Bun!” jawabnya bersemangat.
Huf. Setidaknya aku berhasil mencegah Cecil mandi hujan, walau hanya setengah jam. Entah alasan apa lagi yang bisa kubuat untuk mencegahya mandi hujan.
Aku masuk ke kamar sebentar dan kulihat Cecil berlari masuk ke dalam ngoprek-ngoprek kotak mainan di kolong anak tangga. Kulihat ia mengambil bebek karet dan beberapa mainan karet lainnya berbentuk ikan.
“Aku mau mau mandi 'ujan baleng” imbuhnya dengan penuh semangat sambil mengangkat-angkat mainannya itu, kemudian berlari keluar menungu di tepi teras.
Tak terasa, hampir setengah jam berlalu. Cecil mondar-mandir di teras tak sabar ingin mandi hujan.
“Bun, udah belum? Udah setengah jam, kan, Bun?” teriaknya dari luar.
Hah? Aku tak tahu harus memberi alasan apa lagi. Tapi kupikir, tak ada salahnya juga membiarkan anak mandi hujan. Toh Cecil tidak akan kemana-mana. Ia tidak akan pergi mandi hujan keliling gang karena halaman rumah kami cukup lega.
Aku pun memutuskan masuk ke kamar, melepaskan kardigan, rok lalu menggantinya dengan celana pendek, kemudian aku berlari keluar! Aku berlari ke halaman belakang rumah, mendahului Cecil yang sudah sangat tak sabar ingin mandi hujan.
“Bunda curang!” Cecil meneriakiku, lalu berlari mengajarku. Kami berdua berlari riang mengelilingi taman, melompat-lompat di atas rerumputan yang digenangi air, mengejar anak-anak kodok yang masih kecil di dekat pohon pisang, berenang bersama kawanan ikan mas dan sepasang kura-kura kecil di kolam dekat paviliun.
Sesekali Cecil menyiramiku dengan air kolam dan aku membalasanya. Setelah itu kami bermain “air terjun-air terjuanan” di bawah talang air. Cecil tampak sangat bersemangat dan tawa ceria menghiasai wajahnya. Kami lalu kejar-kejaran mengitari halaman belakang dan larut dalam kesenangan mandi hujan sore ini.
Aku merasa seperti anak kecil lagi. Ketika kusaksikan betapa senangnya anakku mandi hujan, padahal teman-teman seusianya dilarang orang tuanya untuk mandi hujan. Saat kulihat anakku sangat aktif di tengah guyuran hujan yang jarang bisa ia nikmati.
Hujan masih saja deras begitu kulihat suamiku muncul di depan gerbang sambil payungan, dan keheranan melihat kami berdua mandi hujan. Dari kejauhan ia hanya tersenyum dan ia menonton kami dari teras rumah. Katanya,
“Jangan lama-lama, ya!”
Setelah selesai aku dan Cecil buru-buru membersihakn diri dan berganti pakaian. Dan tak kuduga suamiku telah menyediakan dua coklat panas untukku dan Cecil, sedangkan ia menyeduh kopi. Kami bertiga sama-sama menikmati minuman hangat tersebut, lalu bercerita bagaimana serunya waktu mandi hujan tadi.
Sore ini aku sangat bahagia. Aku bisa bermain dengan anakku. Aku memberinya “hadiah kecil” berupa mandi hujan setelah dia bisa menunjukan prestasinya di sekolah. Aku bisa memberinya kebebasan plus tanggung jawab yang bisa ia jalani dengan baik. Dan yang terpenting, aku dan anakku sama-sama menikmati kebersamaan ini sebab suamiku tidak keberatan kami mandi hujan. Terima kasih Tuhan. Hujan ini bukan hanya berkah bagi alam, tapi juga bagiku dan keluargaku.
18 Agustus 2010
(*hanya ingin bagi-bagi cerita. Silahkan remove/untag bila keberatan ^^. Salam hangat, salam hujan)
Sebelumnya pernah diposting di akun facebook pada 26 Mei 2011. Banyak yang memberi masukkan, termasuk dalam penulisan dan tata bahasanya. Tapi yang ini sengaja nggak diedit atau diperbaiki. Tapi lain kali akan nulis lebih baik lagi ^^
Komentar
Posting Komentar