APA KITA BUTUH SAHABAT?
Sering dengar pernyataan “bila persahabatan sudah berjalan selama lebih dari 7 tahun maka persahabatan itu akan bertahan selamanya.” Atau pernyataan orang-orang yang bilang bahwa, ”berteman bisa dengan siapa saja, tapi kalau bersahabat harus pilih-pilih”. Apa beda berteman dan bersahabat, mengapa keduanya seakan harus dipagari?
Secara sederhana,
“teman”, “sahabat” –dan “ kawan“—memiliki makna yang kurang lebih sama,
yaitu seseorang yang melalui sebuah peristiwa
bersama, pernah terlibat dalam suatu urusan, maupun seseorang yang sudah saling
kenal serta memiliki hubungan baik. Namun di dalam praktiknya kita memang secara
sadar membedakan antara teman dan sahabat berdasarkan kedekatan emosional. Yang
pasti sahabat adalah teman, namun teman belum tentu sahabat.
Lantas, apa
kriteria seorang teman bisa dijadikan sahabat? Tiap orang tentu punya kriteria
masing-masing. Ada yang merasa telah menjadi sahabat seseorang bila sudah saling
kenal cukup lama; memiliki hubungan sangat dekat dan banyak melakukan aktivitas
bersama; saling terbuka dalam banyak hal dan tidak ada yang disembunyikan;
mempercayakan orang tersebut dalam banyak urusan termasuk membagi rahasia-rahasia
yang dimiliki. Kemudian muncul pertanyaan, “apakah status teman jadi sahabat
harus diproklamirkan dan mendapat persetujuan dari kedua belah pihak?”, atau
“apakah status sahabat bisa turun derajat menjadi teman?”
Berbeda dengan pernikahan yang
tercatat secara administratif dan memiliki kekuatan hukum baik secara agama
maupun negara, status “sahabat” sangat tidak jelas apa kriterianya. Dua orang
yang sudah kenal belasan tahun, bisa jadi tidak saling menganggap bahwa mereka
sahabat; dua orang yang baru beberapa hari kenal, bisa saja saling menganggap
dan menerima bahwa mereka sepasang sahabat; dan lain sebagainya.
Apakah hubungan persahabatan bisa putus? Tergantung mereka yang
menjalaninya. Ambil saja contoh dua orang yang sudah lama bersahabat bisa putus
hubungan hanya karena salah satu pihak melakukan kesalahan yang tidak bisa
diterima oleh pihak lain, atau salah satu pihak jatuh cinta kepada pihak lain
namun pihak lain tersebut merasa tidak nyaman bila ada sahabat yang saling
jatuh cinta. Tapi tidak menutup kemungkinan mereka berbaikan dan kembali
menjadi sahabat dan memulai ulang dari hubungan teman dan ditingkatkan menjadi
sahabat.
Kalau begitu apa
istimewanya status “sahabat?”. Toh status “sahabat” tidak menjamin langgengnya
sebuah hubungan. Status “sahabat” juga tidak menjamin seseorang bisa dipercaya
sepenuhnya. Pun
status “sahabat” bukan garansi ketersediaan seseorang saat butuh pertolongan. Kalau begitu apa faedah memiliki sahabat?
Bagi sebagian orang,
sosok sahabat mungkin saja diperlukan, karena bagaimanapun ada orang yang butuh
orang-orang tertentu untuk hal-hal tertentu maupun menjadi tempat yang nyaman
dan aman untuk membagi ceritanya. Memang ada juga yang tidak mementingkan status “teman” atau
“sahabat” karena baginya status bukanlah hal (ter)penting dalam sebuah
hubungan. Legitimasi bukanlah esensi, dan slogan-slogan tentang persahabatan hanya
dianggap sebagai jargon untuk meromantisasi sebuah hubungan.
Apakah orang semacam ini tidak butuh
teman atau sahabat? Tetap butuh. Hanya saja yang terpenting bukan statusnya,
melainkan bentuk komunikasi dan relasi yang baik serta berjalan sesuai fungsi.
Komentar
Posting Komentar