MAKANAN: ANTARA PERADABAN DAN KENANGAN
Dalam teori “Hirarki Kebutuhan Maslow” atau yang lebih dikenal sebagai “Segitiga
Maslow”, manusia memiliki 5 jenis kebutuhan, dari hal paling rendah menuju hal
paling tinggi yang diilustrasikan dalam sebuah piramid dengan kebutuhan
fisiologis (sandang, pangan dan papan) sebagai kebutuhan paling dasar dan
kebutuhan akan aktualisasi diri sebagai kebutuhan paling tinggi.
Sejak bumi dihuni makhluk
fana (tumbuhan dan hewan), kebutuhan akan pemenuhan pangan menjadi suatu
keniscayaan, hal yang sangat fundamental hingga urusan makan ini dianggap
sebagai hal biasa dan tak istimewa. Namun dengan bakat peciptaannya, manusia
menjadikan kegiatan makan menjadi peradaban sendiri yang dapat menggambarkan
konteks waktu, budaya hingga teknologi.
Peradaban makan
bisa dikatakan dimulai setelah manusia pertama diciptakan. Dikisahkan Adam dan Hawa
memakan buah-buahan yang ada di surga, hinga akhirnya mereka diturunkan ke
dunia, beranak-pinak kemudian memiliki dua orang putra bernama Qabil dan Habil.
Kisah yang diabadikan baik dalam Perjanjian Lama maupun Alquran, menggambarkan
mereka berdua sebagai manusia yang pertama kali berkurban dan menjadi pelaku peristiwa
pembunuhan pertama manusia. Disebutkan bahwa Habil mengurbankan hewan ternak
sedangkan Qabil mengurbankan hasil pertanian. Dari narasai tersebut kita lihat
bahwa berpindahnya Adam dan Hawa ke dunia turut mengubah cara mereka memperoleh
makanan, yang semula memakan buah-buahan di surga, mengalami perkembangan
dengan mengonsumi daging (ternak).
Peradaban makan terus berkembang.
Seiring penyebaran manusia ke berbagai belahan muka bumi, manusia menciptakan
berbagai jenis masakan yang disesuaikan dengan keadaan alam. Seperti halnya
masyarakat pesisir yang menjadikan hasil laut sebagai hidangan sehari-hari, sementara
masyarakat yang tinggal di daratan lebih tinggi akan bercocok tanam guna memperoleh
bahan makanan seperti sayuran maupun beternak. Perbedaan geografi tidak hanya
mempengaruhi bahan utama yang digunakan dalam sebuah makanan, namun juga mempengaruhi
cita rasa akibat beragam jenis bumbu yang digunakan sehingga menjadi identitas
tersendiri. Seperti halnya antara daerah Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur
memiliki citarasa yang unik dalam setiap masakannya. Atau lebih sempit lagi,
kalau kita jalan-jalan dari Jakarta menuju Bandung maka akan ditemukan jenis
makanan dengan citarasa berbeda, baik makanan rumahan hingga camilan. Lalu, apakah
kreatifitas manusia dalam peradaban makan hanya sebatas bahan utama dan bumbu
yang digunakan yang melahirkan ciri khas tersendiri?
Peradaban makan, nyatanya menghadirkan
kreatifitas lain. Selain membuat manusia kreatif dalam hal mengolah bahan makanan
dan bumbu, kekayaan yang alam sediakan dipadu dengan teknik memasak membuat
manusia berinovasi sehingga terciptalah teknologi: teknologi pengawetan makanan,
contohnya. Sebagai masyarakat yang memiliki budaya rantau, orang Minang menciptakan
teknik memasak daging yang tahan lama dan tidak mudah basi sehingga bisa dibawa
sebagai bekal perjalanan (rendang). Atau masyarakat
Lamalera di Nusa Tenggara Timur, dengan tradisi berburu pausnya. Agar tidak
membusuk, sekerat daging paus yang diterima masyarakat harus diawetkan karena akan
menjadi bahan makanan selama berbulan-bulan. Selain keuntungan dari segi
keawetan makanan, dalam proses pengawetan daging paus pun akan dihasilkan minyak
yang dapat digunakan untuk keperluan rumah tangga.
Peradaban makan
semakin berkembang. Makan bukan lagi menjadi kebutuhan fisiologis, namun
menjadi kebutuhan akan aktualisasi diri. Lihat saja restoran mewah maupun hotel
berbintang dengan menu-menu “mahalnya”, yang dipesan belum tentu untuk
kebutuhan dasar akan pangan, atau kontestasi masak seperti Master Chef yang menjadikan
makanan bernilai artistik. Menu yang dimasak bukan berdasarkan bahan makanan
yang tersedia, namun untuk kepuasan batin dan pemenuhan nilai emosional, dan,
makan(an) bukan lagi soal perut, melainkan soal hati. Beberapa orang bisa
menjadi sangat emosional saat memakan jenis makanan tertentu. Ada yang bahagia,
terharu, sedih, bahkan mengingat masa-masa indah saat kecil. Seperti film Ratatouille
yang di akhir cerita menggambarkan betapa ratatouille, masakan khas Prancis
bisa meluluhkan hati seorang kritikus makanan yang dikenal “kejam”.
Ada kisah pada setiap makanan. Aku, kamu, pasti punya cerita tersendiri mengenai makanan. Bisa tentang resep makanan, pengalaman makan, hingga kenangan akan seseorang yang tersaji dalam sepiring makanan.
Komentar
Posting Komentar