ME-MANGA-KAN INDONESIA
ME-MANGA-KAN INDONESIA
Siapa diantara kita yang belum pernah baca komik Jepang atau biasa disebut Manga? Saya yakin semuanya sudah pernah baca komik Jepang atau manga, bahkan sudah menjadi hobi.
Ya, sebegitu besarnya pengaruh manga dalam khasanah perkomikan dan seni visual di negeri ini. Manga yang kita kenal sampai saat ini, dipersepsikan sebagai komik dengan karakter :
tokohnya tampan dan cantik
bertubuh ramping
berdagu lancip dan matanya besar berbinar-binar
antara wanita dan laki-laki sulit dibedakan karena proporsi tubuhnya hampir sama (dengan lebar bahu antara 1 – 1 ½ tinggi kepala)
Dan karakter tersebut menjadi ciri khas komik-komik Jepang. Jadi siapapun yang melihat karakter denagn ciri-ciri di atas, sudah pasti akan mempersepsikannya dengan karakter ”manga” yang Jepang banget. Popularitas manga pun meroket. Bahkan komik-komik buatan Amerika pun sudah banyak yang mengadopsi gaya manga.
Siapapun juga setuju, kalau karakter manga adalah karakter yang komersil dan disukai siap saja. Tak heran, banyak komikus-komikus kita yang memakai gaya manga pada karakternya. Bahkan ada komik-komik buatan komikus Indonesia, dicetak di Indonesia, diproduksi oleh orang Indonesia, dengan setting Indonesia, namun dengan sentuhan manga. Entah ini adalah strategi untuk meraup angka penjualan dengan memanfaatkan karakter manga yang sudah mendarah-daging, atau memang komikusnya ingin disamakan dengan komikus-komikus Jepang?
Memang, secara baku tidak ada standar karakter komik Indonesia, sehingga kita, sebagai komikus, bebas membuat gaya dan karakter yang kita sukai. Ada yang karakternya action seperti komik-komik Amerika tapi dipadu dengan bentuk-bentuk fisik orang Indonesia. Ada yang menciptakan kreasi karakter dengan penggabungan gaya-gaya eropa dan karikatur, atau kombinasi karakter cibi dengan semi karikatur. Tapi tidak sedikit juga yang menjiplak karakter manga, padahal manga identik dengan komik Jepang.
Bila keadaan ini terus berlarut-larut, lama-lama komik Indonesia akan selamanya menjadi pengikut dan citra manga akan semakin membesar, membesar,membesar, sampai akhirnya kita tidak sanggup membangun citra untuk diri sendiri.
Bukan manga tidak bagus. Hanya saja, sebagai orang-orang yang bergerak di bidang kreatif bukan tidak mungkin kita menciptakan citra komik Indonesia, bukannya membesar-besarkan citra manga. Saya suka manga, karena teknik gambarnya halus, rapi, ceritanyapun bagus-bagus. Saya juga mencoba-coba teknik-teknik yang dipakai dalam manga karena bermanfaat sekali. Tapi saya tidak mencoba mengikuti karakter manga. Manga, selain dibaca dan dinikimati, juga untuk bahan masukan dan referensi dalam berkomik. Alasan saya tidak mencoba mengikuti gaya karakter manga sangat sederhana : saya ingin mencoba membangun citra karakter yang, walaupun tidak bisa dibilang Indonesia banget, setidaknya tidak menjiplak habis-habisan gaya manga. Untuk apa bisa menggambar dan mengembangkan jenis karakter kalau ujung-ujungnya mengikuti karakter yang sudah ada dan populer. Tidakkah ada pembaruan?
Bagi komikus-komikus yang sudah cukup lama bertarung di dunia komik dan memiliki jam terbang tinggi, mereka punya karakter atau gaya masing-masing karena banyaknya latihan dan sumber referensi. Lain hal dengan komikus-komikus pemula. Selain kurang referensi, terpaan manga sudah sangat besar dalam benak mereka. Jadi (kemungkinan) mereka berpendapat, namanya komik ya ikut gaya manga. Kalau mau bikin komik ya harus pakai gaya manga. Mereka tidak bisa disalahkan, karena kita tidak bisa membendung luapan komik manga.
Bukan hal mudah memang untuk membangun citra komik lokal. Butuh kerjasama dengan semua pihiak. Kreator (komikus, penulis cerita, dkk), pembaca, penerbit, distributor. Dan hal termudah (juga tanpa biaya) yang dapat kita lakukan untuk membangun citra adalah menciptakan citra sendiri. Citra bisa berupa karakter dan gaya yang membuatnya berbeda dari yang lain. Kalau kita membuat karakter dan gaya yang sudah lebih dulu dipopulerkan bangsa lain bukan membangun citra namanya, melainkan mengubur citra. Dan kita bisa memulainya dari diri sendiri. Dengan menciptakan karakter atau gaya yang berbeda dan dapat mewakilkan ”siapa kita, dan dimana kita berada”.
Salam Komik Indonesia.
5 Februari 2010
Siapa diantara kita yang belum pernah baca komik Jepang atau biasa disebut Manga? Saya yakin semuanya sudah pernah baca komik Jepang atau manga, bahkan sudah menjadi hobi.
Ya, sebegitu besarnya pengaruh manga dalam khasanah perkomikan dan seni visual di negeri ini. Manga yang kita kenal sampai saat ini, dipersepsikan sebagai komik dengan karakter :
tokohnya tampan dan cantik
bertubuh ramping
berdagu lancip dan matanya besar berbinar-binar
antara wanita dan laki-laki sulit dibedakan karena proporsi tubuhnya hampir sama (dengan lebar bahu antara 1 – 1 ½ tinggi kepala)
Dan karakter tersebut menjadi ciri khas komik-komik Jepang. Jadi siapapun yang melihat karakter denagn ciri-ciri di atas, sudah pasti akan mempersepsikannya dengan karakter ”manga” yang Jepang banget. Popularitas manga pun meroket. Bahkan komik-komik buatan Amerika pun sudah banyak yang mengadopsi gaya manga.
Siapapun juga setuju, kalau karakter manga adalah karakter yang komersil dan disukai siap saja. Tak heran, banyak komikus-komikus kita yang memakai gaya manga pada karakternya. Bahkan ada komik-komik buatan komikus Indonesia, dicetak di Indonesia, diproduksi oleh orang Indonesia, dengan setting Indonesia, namun dengan sentuhan manga. Entah ini adalah strategi untuk meraup angka penjualan dengan memanfaatkan karakter manga yang sudah mendarah-daging, atau memang komikusnya ingin disamakan dengan komikus-komikus Jepang?
Memang, secara baku tidak ada standar karakter komik Indonesia, sehingga kita, sebagai komikus, bebas membuat gaya dan karakter yang kita sukai. Ada yang karakternya action seperti komik-komik Amerika tapi dipadu dengan bentuk-bentuk fisik orang Indonesia. Ada yang menciptakan kreasi karakter dengan penggabungan gaya-gaya eropa dan karikatur, atau kombinasi karakter cibi dengan semi karikatur. Tapi tidak sedikit juga yang menjiplak karakter manga, padahal manga identik dengan komik Jepang.
Bila keadaan ini terus berlarut-larut, lama-lama komik Indonesia akan selamanya menjadi pengikut dan citra manga akan semakin membesar, membesar,membesar, sampai akhirnya kita tidak sanggup membangun citra untuk diri sendiri.
Bukan manga tidak bagus. Hanya saja, sebagai orang-orang yang bergerak di bidang kreatif bukan tidak mungkin kita menciptakan citra komik Indonesia, bukannya membesar-besarkan citra manga. Saya suka manga, karena teknik gambarnya halus, rapi, ceritanyapun bagus-bagus. Saya juga mencoba-coba teknik-teknik yang dipakai dalam manga karena bermanfaat sekali. Tapi saya tidak mencoba mengikuti karakter manga. Manga, selain dibaca dan dinikimati, juga untuk bahan masukan dan referensi dalam berkomik. Alasan saya tidak mencoba mengikuti gaya karakter manga sangat sederhana : saya ingin mencoba membangun citra karakter yang, walaupun tidak bisa dibilang Indonesia banget, setidaknya tidak menjiplak habis-habisan gaya manga. Untuk apa bisa menggambar dan mengembangkan jenis karakter kalau ujung-ujungnya mengikuti karakter yang sudah ada dan populer. Tidakkah ada pembaruan?
Bagi komikus-komikus yang sudah cukup lama bertarung di dunia komik dan memiliki jam terbang tinggi, mereka punya karakter atau gaya masing-masing karena banyaknya latihan dan sumber referensi. Lain hal dengan komikus-komikus pemula. Selain kurang referensi, terpaan manga sudah sangat besar dalam benak mereka. Jadi (kemungkinan) mereka berpendapat, namanya komik ya ikut gaya manga. Kalau mau bikin komik ya harus pakai gaya manga. Mereka tidak bisa disalahkan, karena kita tidak bisa membendung luapan komik manga.
Bukan hal mudah memang untuk membangun citra komik lokal. Butuh kerjasama dengan semua pihiak. Kreator (komikus, penulis cerita, dkk), pembaca, penerbit, distributor. Dan hal termudah (juga tanpa biaya) yang dapat kita lakukan untuk membangun citra adalah menciptakan citra sendiri. Citra bisa berupa karakter dan gaya yang membuatnya berbeda dari yang lain. Kalau kita membuat karakter dan gaya yang sudah lebih dulu dipopulerkan bangsa lain bukan membangun citra namanya, melainkan mengubur citra. Dan kita bisa memulainya dari diri sendiri. Dengan menciptakan karakter atau gaya yang berbeda dan dapat mewakilkan ”siapa kita, dan dimana kita berada”.
Salam Komik Indonesia.
5 Februari 2010
Komentar
Posting Komentar