Horor Masa Remaja

Setiap orang, siapapun dia, pasti memiliki masa lalu. Dan masa lalunya itu kerap diceritakan kepada orang lain, entah teman, saudara, atau bahkan membaginya di situs blog. Ya, bercerita adalah salah satu kebutuhan manusia, kebutuhan untuk didengar. Bukan hanya didengar, sebagain mengharapkan sanjungan manakala kisahnya patut dibanggakan. Tapi tidak semua kisah bisa dibanggakan. Ada kisah hidup yang sengaja dirahasiakan, bahkan dikubur dalam-dalam oleh seseorang; pengalaman buruk yang traumatik.

Tapi menceritakan pengalaman traumatik di sebuah blog dibutuhkan keberanian. Dan keberanian itu menjadi niat yang sangat mulia ketika kisahnya sengaja ditulis agar orang-orang tidak mengalaminya. Seperti yang dilakukan seorang teman yang menceritakan pengalaman masa kanaknya yang suram di blog pribadinya. Ia berharap kisahnya itu menjadi semacam pencegahan ataupun penyadaran agar apa yang pernah dialaminya tidak terjadi pada siapapun. Seperti teman saya, saya juga memiliki pengalaman yang bisa dibilang suram. Tepatnya pengalaman hidup semasa remaja yang kata orang-orang adalah "masa-masa paling indah" dalam hidup. Hilangnya masa remaja yang akhirnya membentuk pribadi saya hingga sekarang. Dan, terinpirasi dari keberanian dan niat baik teman saya, saya juga ingin sedikit berbagi kisah hidup saya. Semoga bisa menjadi guna bagi siapapun.

***

Kisah bermula ketika bapak saya menikah lagi, 2 tahun setelah ibu kandung saya meninggal tahun 1995. Ia menikah dengan seorang janda yang memiliki 3 anak. Sedangkan keluarga kami terdiri dari 5 bersaudara dan saya anak ke-4. Setelah menikah, ibu tiri saya tinggal di rumah keluarga kami bersama bungsunya yang masih SD. Saya lupa detilnya saat itu si bungsu umur berapa tahun, tapi yang jelas ia 4 tahun dibawah saya dan adik saya 7 tahun dibawah saya.

Awalnya, tinggal serumah bersama 2 anggota keluarga baru normal-normal saja, hingga akhirnya ketahuan juga sisi buruknya. Si bungsu, sebut saja N, adalah tipe anak manja, tidak mau mengalah dan selalu mencari cara agar keinginannya terpenuhi. Masalah-masalah kecil yang sebelumnya tidak pernah ada di rumah pun muncul. Dari rebutan nonton TV, barang-barang, dan yang parahnya N punya kebiasaan "menggasak" uang milik orang. Dari setiap pertentangan yang ada, tak peduli siapa yang bersalah, N selalu dibela ibunya. Keadaan ini berlanjut hingga tumbuh kebencian di dalam hati saya, baik terhadap N maupun ibunya. Dan yang membuat kebencian itu semakin terpupuk adalah kenyataan bahwa adik saya, MJ, turut menjadi "korban" si N. Beruntung, ketiga kakak kami selalu membela MJ, walau faktanya tetap tidak bisa melawan keadaan.

Selepas SD tahun 1998, saya memutuskan untuk mondok di pesantren di daerah Sukabumi. Sejak awal saya memang ingin masuk pesantren karena saya ingin mencoba hidup mandiri, dan kehadiran "keluarga baru" semakin memperkuat keinginan saya mondok; tentu untuk menghindari mereka!

Saya hanya 3 tahun di pesantren, tepatnya semasa pendidikan SLTP. Tinggal jauh dari keluarga, dengan keuangan yang bisa dibilang pas-pasan selama mondok, dan kehilangan seorang ibu sejak umur 9 tahun, otomatis membuat saya semakin jauh dari kasih sayang keluarga. Kehidupan saya di pesantren pun nggak "nyantri-nyantri amat". Tidak terlalu sering tadarus Al-Quran walau senang baca buku, sampai sekarang tidak hapal doa setelah sholat meskipun lumayan hapal surat Yasin, dan pernah beberapa kali dihukum, bahkan digunduli oleh pengurus pesantren. Dan 3 tahun jadi santri tidak menjadikan saya remaja yang ada bekas pesantrennya.

Setelah 3 tahun nyantri (selesai tahun 2001), saya pulang ke rumah dan tidak tinggal di Depok, rumah asal kami, melainkan  di Cileungsi, tempat dimana ibu tiri saya saat itu memiliki usaha berdagang di pasar dan memang ia tinggal sejak lama di Cileungsi. Di masa inilah apa yang saya sebut "horor" menjadi keseharian saya; hidup di dalam kecurigaan, ketakutan, rasa rendah diri, tidak betul-betul merasakan fungsi rumah sebagai tempat berlindung secara psikologis dan tempat berpulang (home), melainkan merasakan fungsi rumah sebatas bangunan tempat berlindung secarah fisik (house). Namun di tengah horor tersebut, tak ada yang bisa saya lakukan.

(bersambung)

Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer